50. Menjauhi Aji

74.4K 5.6K 632
                                    

"Aji, kalau udah besar nanti. Harus bisa jagain Kaela sama Kafi, ya."

Gio sedang memangku anak lelakinya di sofa ruang bermain. Alis bayi laki-laki itu mengkerut. Jemari tangan kanannya berada di dagu sang ayah.

"Karena kamu pahlawannya. Kaela sama Kafi putrinya."

Aji mulai berceloteh dengan bahasanya sendiri. Seolah menjawab perkataan dari papanya.

"Aji gak boleh cuma sayang sama Kaela. Harus sayang sama Kafi juga. Karena pahlawan harus sayang semua orang. Termasuk Mama sama Papa."

Bayi laki-laki itu kembali berceloteh. Membuat Gio mengecup gemas pipi tembam anaknya. Bayi laki-laki itu memiliki pipi tembam dan hidung mancung. Serta mata yang sangat menyerupai mamanya. Namun, tatapan tajamnya persis seperti milik papa.

Suara roda yang berputar terdengar. Ada Qila yang sedang mendorong rumah boneka barbie mendekat ke arah sofa. Melihat kakaknya yang datang, bayi itu meminta didudukkan di atas permadani dekat sofa, ingin ikut bermain dengan kakaknya.

"Papa tinggal, ya? Mau ingetin Fiqa minum obat." Pria itu beranjak menuju kamar anak-anak.

"Iya," jawab Qila yang masih fokus dengan barbie-nya. Di sisinya, Aji sedang merobek squishy menjadi kepingangan busa kecil.

"Dedek, jangan rusak punya Kafi, ya? Nanti dia nangis kalau udah sembuh."

Bayi itu merespons dengan menghamburkan kepingan busa di dekatnya. Beberapa busa ada yang mengenai rumah Barbie, membuat Qila sedikit merasa kesal karena rumah itu menjadi kotor.

"Jangan dikenain ke rumahnya, Dedek. Nanti kotor." Anak perempuan itu membersihkan rumahnya dari busa squishy.

Aji merangkak mendekati rumah Barbie. Tangannya berpegangan pada dinding rumah mainan itu dan mencoba untuk berdiri.

"Dedek jangan, nanti kamu jatuh." Qila berusaha meraih tubuh adiknya supaya tidak mendorong rumah mainan.

Tetapi ia terlambat. Tanpa bisa diprediksi Qila, rumah itu bergeser. Membuat Aji ikut bergerak. Anak yang belum bisa beridiri itu pun terjatuh dengan wajah yang mendarat mulus mengenai beberapa bagian rumah-rumahan.

"DEDEK!" pekik Qila saat menyadari adiknya sudah tersungkur.

Bayi laki-laki itu menangis kencang. Membuat kedua orangtuanya menghampiri mereka.

Perasaan Qila sangat kacau. Sedih melihat adiknya yang terjatuh. Juga takut untuk menghadapi kemarahan papanya.

Saat Aji digendong oleh Gio, saat itu pula Qila melihat ada cairan merah di kening sang adik. Air matanya pun kembali mengalir dengan sendirinya.

Sungguh, Qila tidak pernah berniat mencelakai adiknya. Apalagi, membuat bayi lucu itu sampai berdarah.

Anak perempuan itu terus menangis walau adiknya sudah dibawa pergi oleh orangtuanya ke dalam kamar. Rasa bersalah terus menyelimuti pikirannya. Andai saja ia bisa lebih tanggap meraih tubuh sang adik, semuanya tidak akan seperti ini.

Qila tidak bisa membayangkan kemarahan papanya yang sedikit lagi akan menghampirinya. Membayangkan nada tinggi dari yang terucap, tatapan tajam papanya, atau ... kulitnya yang terasa perih saat terkena ikat pinggang kulit milik papanya.

Tidak.

Qila benar-benar tidak mau lagi masakan ikat pinggang milik papanya atau benda apapun yang bisa digunakan papanya untuk memukul tubuh kecilnya.

Karena rasanya sangat sakit. Benar-benar sakit.

Namun, akan lebih sakit jika mamanya juga ikut marah.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Where stories live. Discover now