Bab 23

2.4K 404 29
                                    

Sebelum lanjut, tap VOTE dulu ya ...

****


Cinta itu ibarat lembah yang begitu dalam dan penuh misteri, tak ada yang tahu apa yang tengah bersembunyi dan menunggu kita saat kita sampai di sana, dan tak ada yang tahu apakah ada yang akan melukai kita atau tidak di dalam sana. Begitu juga dengan pernikahan.

Saat ingin melangkah lebih jauh, beruntunglah mereka yang bisa bertahan dan menjadikan cinta sebagai alasan bagi mereka yang mengalami berbagai macam ujian dalam sebuah kehidupan. Dan kepada orang yang sudah merasa kalah kemudian ingin menyerah, tidak bisakah ingat kembali segala kesulitan yang pernah dilalui? Seberapa dahsyat gelombang yang sudah dilewati? Dan seberapa sulit rintangan yang telah dihadapi demi semua ini? Setelah mengingat semuanya, Apa cinta itu masih ada? Atau bahkan cintanya sudah dalam tenggang waktu kadaluarsa?

******

Maggie menyesap kembali sebatang rokok yang berada di tangannya. Hisapannya terlihat sangat dalam, penuh penyesalan dan tekanan. Di sekelilingnya banyak baju yang dibiarkan berserakan begitu saja, ia tak berniat untuk membereskannya sama sekali karena sesungguhnya ia sangat kacau! Maggie tengah berada di titik paling bahaya dalam hidupnya. Bahkan sesekali ia tertawa meringis dengan tangan yang terus menyibak-nyibakan rambutnya frustrasi.

"Bagaimana bisa dia meninggalkanku seperti ini? Begitu saja? Begitu mudahnya? Hahaha! Arga sudah gila! Brengsek!" umpat Maggie. Ia melihat kemeja hitam milik Arga yang tergeletak di hadapannya. Hari ini Maggie seperti sedang kesurupan, ia mengeluarkan semua baju milik Arga dari dalam lemari pakaian lalu menguntingnya asal. Emosinya tak terkendali lagi setelah Arga pergi meninggalkannya.

Wanita itu bangkit dari duduknya. Ia menatap potret dirinya yang berantakan di depan cermin. Senyuman tersungging di bibirnya dengan menyedihkan. Maggie menggelengkan kepalanya lalu tertawa, tak lama kemudian ia terduduk kembali di lantai kemudian menangis.

Ia mengusap air matanya dengan kasar. Tidak. Bukan waktunya untuk menangis. Belum saatnya untuk hancur. Maggie tidak boleh seperti ini! Sungguh. Wanita itu meraih ponselnya, ia mencari sebuah nama dalam kontaknya lalu segera menelponya. Nada sambung terdengar, dengan tangan gemetar Maggie menunggu jawaban dari seseorang yang ditelponnya saat ini.

"Ya Maggie? Kenapa?"

"Nara, bantuin gue," ucap Maggie gemetar, sesaat setelah terdengar jawaban dari Nara temannya.

"Maggie? Lo kenapa?"

"Gue belum tidur sama sekali dari kemarin, dada gue berdebar terus. Gue kayaknya butuh lagi obat penenang yang biasa gue minum," terang Maggie, "Lo bisa kan kirim ke rumah gue?"

"Maggie?! Are you okay? Lo udah lama banget nggak konsumsi obat itu. Lo bilang udah lama lo nggak ngerasa depresi lagi? Wait, balik kerja gue ke rumah lo. And please. Jangan lakuin hal aneh ya! Lo kalau nggak kuat, atur napas baik-baik," pesan Nara yang sepertinya tahu sisi lain dari Maggie.

Sambungan telpon terputus, Maggie melemparkan ponselnya dengan tangan masih gemetaran. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya terpejam dengan erat, Maggie tengah berusaha dengan keras untuk menenangkan dirinya. Wanita itu membuka matanya lagi, ia melihat gunting yang tergeletak di dekatnya begitu lama, pikirannya melayang dan mengambil alih dirinya, memerintahkannya untuk mengambil alat itu dan segera menghantamkannya pada tubuhnya.

3 SOMETHING ABOUT LOVEDär berättelser lever. Upptäck nu