Chapter 16

11K 1.4K 11
                                    

Sesuai dengan perjanjian, Hanna bertemu dengan Rio sepulang sekolah. Hanna sebenarnya ingin menceritakan kejadian yang dialaminya tadi di kantin kepada Rio, tetapi ia mengurungkan niatnya.

"Hann, mau ngerjainnya dimana?" ucap Rio yang baru saja keluar. Hanna menunggu Rio di depan kelasnya.

"Gimana kalau di perpustakaan?"

"Oke..., eh kok mata lo agak bengkak gitu ya?" Rio melihat-lihat ke wajah Hanna. Wajar saja mata Hanna bengkak, thanks to Ezra. Rio yang ingin melihat dengan jelas malah mendekatkan wajahnya ke wajah Hanna. He's too close!

"Eh ma-masa sih," ucap Hanna sambil bergerak mundur.

"Iya nih, lo abis nangis...? Hanna Kelly bisa nangis?" ucap Rio dengan nada sarkas. Hanna tahu Rio hanya bercanda, jadi Hanna hanya tertawa saat Rio mengatakan hal itu.

"Hahahaha apaan sih, dah lah ayo kita ngerjain tugasnya biar cepet selesai," ucap Hanna sambil berjalan duluan meninggalkan Rio dibelakangnya.

"Tungguin," Rio mengejar Hanna dan menyamakan langkah kaki mereka.

Di perpustakaan, Hanna melihat Rio menjelaskan soal-soal matematika yang ada dibukunya dengan sangat teliti.

Wow.

Hanya kata itu yang ada di otak Hanna. Ada sesuatu hal yang menarik melihat seorang laki-laki yang sedang fokus mengerjakan sesuatu seperti Rio saat ini. Hanna yang berada di jarak yang agak dekat dengan Rio, mau tidak mau Hanna jadi memperhatikan wajah Rio. Rio memiliki alis yang tebal dan rapi, sangat rapi malah. Hanna yang melihat wajah Rio dari samping, melihat bahwa hidung Rio juga sangat mancung. Ia juga memiliki kumis tipis dan bibir merah yang tebal, yang artinya anak ini tidak merokok, he's so attractive.

Ia mengerjakan soal tersebut dengan gampangnya dan yang terpenting, jawaban dari soal tersebut dapat ditemukan! Rio benar-benar pintar.

"Nah untuk soal yang ini, lo bisa pake rumus yang in-," ucapan Rio menggantung saat Rio melihat Hanna sedang memandangi dirinya dengan intens, bukannya di kertas yang sedang di coret oleh Rio.

"Hanna? Hello..? Fokus," Rio memukul dahi Hanna menggunakan pulpen yang ada di tangannya.

"Hah? Oh so-sorry," Hanna terkerjap dan menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Hanna malah melamun dan memandangi Rio?

"Dasar Hanna! Ingat walaupun lo itu sekarang 16 tahun tapi jiwa lo itu usianya 26 tahun! Sadar diri!" batin Hanna.

Sudah hampir sejam mereka mengerjakan soal-soal tersebut dan akhirnya mereka bisa menyelesaikan tugas tersebut. Ralat, mereka = Rio. Hanna hanya menerima sedikit ilmu dari Rio karena dirinya memang sangat tidak berbakat dengan matematika.

"Lo pulang sama siapa Hann?" tanya Rio.

"Gue pulang biasa naik taxi," jawabnya. Dulu selama Hanna sekolah, memang Hanna selalu pulang dengan taxi. Hanna sangat berharap kedua orang tuanya suatu saat mengizinkannya membawa mobil. Lebih baik ia membawa kendaraan sendiri bukan? Daripada harus naik taxi setiap hari batinnya.

"Udah pulang sama gue aja," ucap Rio menawarkan tumpangan kepada Hanna. Hanna terlihat tidak nyaman. Tidak nyaman karena ia takut akan merepotkan Rio, padahal tadi Rio baru membantu mengerjakan tugasnya.

"Eh gausah repot-repot Rio, gue bisa pulang sendiri kok,"

"Gak repot kok,"

"Beneran gak papa, gue sendiri aja, lagian rumah kita kayanya ga searah?" ucap Hanna lagi. Ia benar-benar tidak ingin merepotkan Rio.

"Hm? Emangnya rumah lo dimana?" tanya Rio.

"Di Valley Resident, lo?"

"Komplek Asira...,"

"Nah kan bener, ga searah," Hanna tertawa karena melihat raut wajah Rio yang menyadari kalau rumah mereka tidak searah.

"Walaupun gak searah, gak papa kok," ucap Rio. Wah benar-benar keras kepala sekali Rio ini. Hanna yang sudah mendengar Rio mengajaknya pulang bersama sebanyak 3 kali merasa harus menerima tawaran Rio, rasanya malah jadi aneh jika Hanna terus-terusan menolak.

Di sisi lain, Rio merasa gemas melihat Hanna karena  Hanna sangat bersikeras tidak ingin merepotkan Rio, padahal Rio tidak merasa seperti itu.

"She's very considerate," batin Rio.

"Yaudah deh kalo gitu," Hanna menerima tawaran Rio. Rio tersenyum karena akhirnya Hanna mau juga menerima ajakannya.

Mereka pergi ke parkiran masuk ke dalam mobil Rio dan pergi menuju ke rumah Hanna.

"So, gimana sejauh ini sikap temen-temen sekelas lo?" ucap Rio untuk memecah keheningan. Hanna menceritakan bahwa teman-teman sekelasnya sudah mulai berbicara dengannya.

"Mereka kaget karena gue bisa jawab pertanyaan dari Pak Botak,"

"Lo bisa jawab pertanyaan Pak Botak?"

Hanna menggangguk. "Bahkan gue gaperlu ujian lagi karena gue udah dapat nilai A," lanjutnya. Rio benar-benar terkejut, karena selama ini tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan dari Pak Botak. Melihat Hanna yang antusias menceritakan bahwa teman-temannya sudah mulai berbicara dengannya membuat Rio tersenyum juga. Hanna terlihat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan teman di hari pertama sekolah.

"Rio gue mau nanya,"

"Hm?"

"Lo ikut ekskul apa?"

"Gue dari kelas 10 udah ikut ekskul basket,"

"What?!" Hanna terkejut. Selain pintar, Rio juga bisa bermain basket? Memangnya dia karakter utama dari sebuah novel? Hanna makin kagum dengan laki-laki ini.

"Kenapa? Aneh ya?"

"Engga engga bukan gitu..., gue salut aja lo itu udah pinter, bisa main basket lagi," Hanna mengucapkan hal itu sambil mengacungkan jempol nya ke wajah Rio. Mereka berdua tertawa.

Setelah 20 menit berkendara, akhirnya mereka sampai dirumah Hanna.

"Rio makasih banyak ya untuk hari ini, lo bener-bener baik banget," ucap Hanna dengan tulus. Tak lupa juga Hanna menunjukkan senyuman khasnya, membuat Rio yang melihat hal itu terdiam lagi.

Dia cantik. Banget.

"Rio?"

"Eh i-iya Hann sama-sama," ucap Rio yang tersadar dari lamunannya.

"Hati-hati dijalan ya, bye!" ucap Hanna sambil melambaikan tangannya lalu ia melangkah masuk kedalam rumahnya. Rio membalas lambaian itu tetapi ia masih terdiam di tempatnya. Rio tidak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini.

One More ChanceWhere stories live. Discover now