Meat

12 3 0
                                    

Malam itu aku baru pulang dari belanja bulanan. Cukup kerepotan karena aku hanyalah seorang pemuda yang baru saja lulus beberapa bulan yang lalu dari pendidikan strata satu di salah satu kampus di kota Pearl Garden dan kalian bisa tebak kalau aku ini hanyalah beban keluarga yang pengangguran. Bukan. Aku bukannya seonggok daging pemalas yang hanya bisa merengek meminta uang jajan dari orang tuaku yang berada di desa. Aku mencari pekerjaan setelah mendapatkan ijazah, sungguh. Tapi sebagai seorang fresh graduate dengan pengalaman yang sedikit dan nilai pas-pasan aku tentunya tak segampang itu mendapatkan pekerjaan.

Payah. Harusnya aku menjadi penjilat saja sewaktu kuliah dulu. Tapi sayangnya, menyesali tak mengubah apa-apa.

Sembari mengeratkan pegangan pada totebag berisi kebutuhanku sebulan ini, aku menggerutu sebal karena tak sengaja menginjak batu kerikil. Kakiku hanya beralaskan sendal tipis, payah! Saat sedang menggerutu, aku dibuat terkejut dengan bayangan seseorang di atas kepalaku. Aku lantas terdiam, bergeming di atas pijakan dengan kedua mata terpaku pada sosok berpakain seragam sekolah. Ah, aku ingat bahwa tempat ini memang selalu dijadikan sebagai tempat bunuh diri. Di sini sepi, tak ada cctv, dan para polisi jarang berpatroli di daerah kumuh ini.

Di atas sana jalan layang, sementara aku berada di bawah menyusuri lorong sepi sebab sudah tengah malam. Kupikir aku harus menghentikannya, namun dari tempatku berdiri aku melihat bagaimana mimik wajah putus asa dengan guratan suram bersamaan aura yang menjelaskan bahwa dia benar-benar putus asa dengan kehidupan yang dia punya. Aku kembali menghela napas, pun mengalihkan perhatianku darinya yang terpaku di atas sana.

Hidup ini memang berat, bahkan aku sendiri sering berpikiran untuk mati bunuh diri walau pun terus gagal karena banyak hal yang terlintas di pikiranku. Lengan hoodie oversized yang aku pakai tak sengaja tersingkap dan menampilkan goresan yang memenuhi lengan. Ah, sial. Kenapa dia terlihat di saat-saat seperti ini? Aku mendengus, lantas masuk kembali ke dalam lorong-lorong untuk menyembunyikan diri. Setelahnya, dalam hitungan detik suara gedebuk yang cukup kencang mengisi rongga telingaku.

Aku lantas tersenyum dengan kedua manik menatapnya berbinar, sebab harga daging di kota ini sangat mahal sementara orang tuaku tak punya cukup uang untuk membelikanku daging. Malam ini dan seterusnya, aku bisa makan enak.

Terima kasih, siapa pun kau yang putus asa.

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now