Pilihan

8 3 0
                                    

Dering kesekian. Panggilan kembali tak dijawab. Tidak ada suara sosok yang diharapkan sejak awal, yang ada hanyalah suara operator perempuan yang menjelaskan bahwa panggilan yang tengah aku lakukan dialihkan.

Ibu sibuk, tidak memegang ponsel, atau bisa saja dia memang mengabaikan.

Maka pada panggilan kesekian kalinya dengan rasa putus asa yang kian membuncah, suara itu hadir. Sayangnya, tak ada suara lembut sarat akan kerinduan yang mungkin bisa memberikanku sebuah harapan. Ibu di sana, dengan suara ketusnya, mendengus, dan mendesis kesal.

"Kenapa menelepon?"

Aku berusaha menahan sesak dan marah, maka kutarik ujung bibirku sebelum akhirnya menjawab. "Ibu tidak merindukanku?"--sebab aku nyaris mati karena merindukanmu.

Namun sesuai dengan ekspetasi, pertanyaan yang aku ajukan mendapatkan jawabannya. "Kalau tidak ada yang penting, Ibu tutup. Kau tahu bukan, kalau Ibu ini sibuk?"

"Aku bahagia tinggal di sini," kataku pada akhirnya, pikiran di mana dia akan memutus sambungan telepon kini lenyap sebab deru napas itu masih terdengar. "Pantainya bagus, lautnya biru, dan matahari bersinar terang setiap harinya."

Satu dengusan pelan kembali aku lakukan, sementara Ibu masih terdiam tanpa mengucapkan apa-apa. "Ibu," panggilku, "Bagaimana kalau nanti aku pulang membawa seorang teman yang sedang hamil? Kasihan dia, tak punya keluarga dan dicampakkan pacarnya."

Lantas deru napas Ibu semakin terdengar kencang. Aku membeku. Dalam diam terhenyak begitu dalam pada setiap kalimat yang ibuku katakan.

"Apa-apaan dengan pertanyaanmu itu? Sudah pasti Ibu tidak mau menerimanya. Kau pikir saja bagaimana dia dicampakkan pacarnya, sudah pasti dia itu tidak berguna!"

Setelah itu, panggilan telepon terputus. Aku kembali mengulas senyum. Lantas setelahnya, aku mendorong kursi di bawah kakiku dan membiarkan tali ini mengikat leherku.

Huft, ini pilihan yang bagus, bukan?

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now