Pemuda Di depan Jendela

15 4 0
                                    

Baunya seharum bunga mawar Bulgaria, walaupun di tengah kegelapan, namun aku dapat melihat bahwa dia punya manik sebiru samudera, dengan rambut sehitam jelaga. Dia selalu datang mengetuk jendela kamarku, lantas berbisik.

"Apakah kau sudah siap untuk mati?"

Tapi, pada malam kesekian aku tak kunjung memberinya jawaban. Aku hanya diam, menatap tepat ke arah matanya yang terkadang ada cahaya dari kamarku yang memantul dari bola matanya yang teramat indah. Di dalam hati, aku selalu berharap bisa bertukar bola mata dengannya.

Hanya saja, entah apa yang terjadi, dia tak lagi terlihat seperti malam-malam biasanya. Burung hantu yang hinggap di pohon terus bersuara, begitu berisik dengan mata bulatnya yang mengerikan. Aku tertegun, tapi masih tetap di tempatku dengan mata yang tak henti-hentinya menatap ke arah jendela sembari berharap dia akan datang.

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, ada ibuku di sana dengan cardigan merah yang selalu dia pakai kala merindukan ayah. Katanya, cardigan itu adalah benda pemberian ayah. Aku tak bertanya lebih lanjut, sebab yang kutahu aku tak mengetahui seperti apa ayah yang sebenarnya. Wajahnya, senyumnya, bentuk tubuhnya, atau bahkan hangat pelukannya yang selalu ibu banggakan padaku.

"Kenapa belum tidur?" Tanya perempuan itu, tapi aku belum menjawab dan hanya diam menatapnya. "Besok kau akan sekolah, nanti kau telat kalau tidur terlambat." Lanjutnya.

Aku mengangguk, lalu beranjak dari tempatku menuju ranjang dan langsung merebahkan diri di sana. Ibu mendekat, pun berakhir memberikan sebuah kecupan pada keningku. "Selamat malam, mimpi indah, ya?"

Mimpi indah, ya? Aku bahkan tak tahu seperti apa rupa dan wujud mimpi indah itu, sebab aku tak pernah mengalaminya. Tapi, ketimbang membuat ibuku semakin khawatir, aku hanya mengangguk sembari menyulam senyum. Ah, tidak apa-apa. Mungkin besok dia akan datang. Kataku.

Hingga besok yang aku harapkan datang, dia tak juga menunjukkan batang hidungnya. Di sekolah, ataupun di depan jendelaku. Aku selalu menunggunya, berharap bahwa dia akan datang dan menceritakanku banyak hal tentang kisah hidup para hantu. Bagaimana menyebutnya, ya? Ya, kisah para hantu yang dulunya hidup sebagai manusia. Begitulah.

Lalu malam ini, tepat seminggu dia menghilang, sosok itu kembali terlihat. Baunya masih sama, rambutnya juga, hanya saja aku menemukan sesuatu yang berbeda darinya. Yaitu, bola matanya tak lagi berwarna biru. Matanya terlihat kelam--sekelam malam ini yang tak berbintang. Bibirnya yang selalu tersenyum, kini melengkung menunjukkan sebuah kesedihan.

"Hey, ke mana saja kau seminggu ini?" Tanyaku pada akhirnya, tapi dia malah diam lalu menatapku tajam.

Sumpah demi apapun, aku ketakutan.

"Tuanku marah padaku," katanya yang tentu saja mengabaikan pertanyaanku barusan, "dia bilang bahwa dia suka harum tubuhmu, tapi dia tak bisa mendekatimu dan menyuruhku. Tapi, kau selalu mengelak menjawab pertanyaanku."

"Hey, k-kau kenapa?" Tanyaku lagi dengan suara yang nyaris menghilang.

"Aku tanya sekali lagi, apakah kau sudah siap untuk mati?"

Aku tertegun, dalam diamku kini berpikir mencerna kembali maksudnya. Aku menelan ludahku susah payah, sebelum akhirnya menjawab. "Bagaimana bisa kau mempertanyakan hal itu padaku?"

"Karena kau manusia yang dibutuhkan tuanku,"

"Aku tak mengenal tuanmu,"

"Dia menyukaimu,"

"Aku tak mengerti,"

Setelah itu, dia kembali memperlihatkan wajah frustasinya. "Pokoknya kau tak usah mengerti, kau harus menjawab pertanyaanku barusan. Apakah kau siap untuk mati?"

"Memangnya kau siapa? Malaikat maut?"

Tak ada jawaban, tapi tubuhnya masih berada di sana. Seolah dia enggan untuk menjawab, tapi bingung harus mengatakan apa sebagai kebohongan. Tapi, pada detik berikutnya manakala hening memakan habis waktu yang kami lewati dalam diam, dia malah mengatakan sebuah kalimat yang nyaris membuatku jatuh pingsan.

"Aku incubus, aku diutus oleh tuanku untuk membawamu padanya. Dia membutuhkanmu, tapi setelahnya kau akan mati. Maka itulah kenapa aku selalu bertanya padamu, apakah kau sudah siap mati, atau tidak."

Pada akhirnya, pemuda yang selalu menjadi harapanku melewati malam yang menyesakkan itu tak lebih dari malaikat maut yang diutus Tuhan untuk membawaku menemui ajalku. []

Ini aneh sekaliii 😫🙏

Anyway, happy no bra day everyone 💜🙆🌻👙

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now