Sebuah Pemakaman

4 2 0
                                    

"Kepada tamu undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan! Untuk kedua mempelai selamat menempuh hidup baru, semoga sakinah, mawaddah, dan warahmah!"

Aku tertawa kecil melihat bapak-bapak yang akan menyumbangkan sebuah lagu di atas panggung. Ada cahaya terpancar pada wajahnya yang sudah dipenuhi keriput. Kupikir, dia salah satu dari anggota keluarga dari salah satu mempelai.

Piring berisi nasi dan lauk pauk yang ada di pangkuan kembali kuangkat. Aku menikmati hidangan sesuai dengan bapak-bapak itu ucapkan tadi. Well, aku sudah memberikan hadiah pada temanku sebagai ucapan selamat walaupun tidak dengan amplop yang sebenarnya lebih dia butuhkan, sih. Jadi tidak apa-apa kalau aku makan sedikit lebih banyak dari orang-orang, bukan?

Namun sosok yang duduk disebelahku sukses merusak suasana hatiku yang sedang menikmati hidangan ini. Sosok dengan pakaian serba hitam itu kembali menghela napas. Dia temanku, memang. Kami sudah lama tidak bertemu dan pernikahan salah satu teman kami menjadi pertemuan pertama setelah sekian lama.

Aku sampai bertanya-tanya, kenapa dari dulu dia tidak pernah merubah kesukaannya dalam memilih warna busana yang dia kenakan.

"Lo nggak makan, Ki?"

Namanya Risky, aku memanggilnya Kiki supaya lebih mudah dan dia juga tidak protes atau semacamnya.

Pemuda itu lantas menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan yang aku tanyakan barusan. Dan beberapa detik kemudian, dia kembali menghela napas. Keningku lagi-lagi berkerut. Dia sudah menghela napas ratusan kali sejak akad nikah yang berlangsung tadi pagi ini.

"Menurut lo, kenapa orang-orang nangis pas nikah?" tanya pemuda itu tiba-tiba.

Aku tertegun, lantas menatap ke arah kedua mempelai yang bergeming di atas pelaminan, sebelum akhirnya aku menjawab. "Karena mereka bahagia, jadinya terharu."

"Lalu kenapa ada kalimat selamat menempuh hidup baru setiap kali orang-orang memberi selamat pada mempelai?"

Lagi, aku tertegun. Sebenarnya ingin berhenti menjawab pertanyaan konyol dari pemuda ini, akan tetapi aku sendiri penasaran kenapa. Jadinya setelah cukup puas berpikir, aku menjawab;

"Karena mereka akan menghadapi babak baru dalam kehidupan, makanya diberi selamat."

Pemuda itu kemudian tertawa, aku kembali dibuat mengerutkan kening akan tingkahnya.

"Jadi wajar aja kalau gue pakai pakaian hitam, 'kan?"

Setelahnya, aku melempar cermin yang ada dihadapanku karena kesal.

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now