Friendship

13 2 0
                                    

~•~

"Kenapa suka sekali dengan mawar putih?"

Yang ditanya langsung menolehkan kepala ke arah sosok gadis dengan rambut dikuncir itu. Senyumnya yang manis dan nampak menawan kemudian hadir pada wajah yang digilai semua orang. Kedua matanya yang serupa bulan sabit kini terpejam tatkala lengkungan pada bibir menyentuh ujung mata. Sementara sosok yang tadi melempar tanya hanya diam memperhatikan.

"Tidak tahu," jawab gadis itu kemudian. "Hanya suka saja, mereka terlihat suci dan juga polos."

Alita lantas mengangguk, mengalihkan kedua bola mata ke arah jalanan, lantas memilih mengatupkan bibir sementara gadis yang berjalan beriringan dengannya terdengar bersenandung riang. Hari ini, dia akan memberikan bunga mawar itu pada seseorang yang dia sukai. Sebagai sahabat, Alita tentu saja memberikan dukungannya. Tidak apa-apa, ujarnya meyakinkan diri.

Alita dan Zahra, dua gadis yang selalu bersama-sama sejak mereka kecil. Di mana ada Alita, di situ ada Zahra. Namun sayang, semua orang memperlakukan keduanya dengan cara yang berbeda. Standar. Tentu saja. Alita hanyalah gadis culun dengan kacamata membingkai pada matanya yang minus, tak bisa berdandan, dan tentu saja tak cantik seperti Zahra yang terlihat bak Aprhodite.

"Menurutmu, apakah Juan akan suka pada bunga yang akan aku berikan ini?" Tanya Zahra memecah keheningan di antara keduanya.

"Tentu saja dia akan suka," jawab Alita, "kau gadis yang cantik, tentu saja dia akan menghargai segala hal yang kau berikan untuknya."

"Benarkah?" Tanya gadis itu lagi meyakinkan ucapan yang baru saja sahabatnya katakan.

Alita hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu tersenyum kecil. Langit terlihat begitu cantik dengan warna biru di atas sana, awan-awan bahkan menggumpal seperti gula-gula kapas yang ada di karnaval, burung-burung terdengar bernyanyi di atas ranting pepohonan, dan angin berhembus pelan menerpa wajah. Ah, tentu saja. Hari ini adalah hari yang pas untuk mengucapkan selamat tinggal.

"Apakah kau benar-benar menyukai Juan?"

Zahra yang mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu sontak saja terkejut, kakinya yang melangkah pelan kini berhenti dengan kepala yang tertoleh pada sosok itu. Keningnya berkerut, jutaan spekulasi, pun pertanyaan bergumul di dalam kepala. Tidak mungkin, 'kan? Dia sedang tidak terjebak di dalam drama dengan tema cinta segitiga, bukan?

"Kenapa bertanya begitu, Alita? Kau tentu saja tahu jawabannya," jawab gadis itu kemudian.

Alita hanya mengangguk, lantas kembali membawa kakinya untuk pergi. Setelah tadi puas menghabiskan waktu menemani Zahra membeli hadiah untuk hari ulang tahun sang pacar yang baru saja meresmikan hubungan mereka beberapa hari yang lalu, kini mereka sudah tiba di depan rumah milik Alita. Setelahnya, seperti biasa Zahra akan mampir ke rumah itu untuk beberapa waktu sebelum akhirnya pulang.

"Kau tak menyukai Juan, bukan?" Tanya Zahra tiba-tiba tatkala mereka sudah berada di dalam kamar gadis itu.

Alita yang kini melepas pakaiannya guna mengganti dengan pakaian yang lebih santai hanya terkekeh menanggapi pertanyaan itu, pun beranjak keluar untuk mengambil minum. Persis, seperti biasanya. Seperti sepuluh tahun waktu yang mereka habiskan bersama. Semuanya tak ada yang berubah.

"Kau tahu, ada data yang menjelaskan bahwa manusia lebih banyak mati karena bunuh diri ketimbang dibunuh. Jadi mau menambah jumlah pembunuhan, tidak?" ujar Alita tiba-tiba tepat saat dia masuk ke dalam kamar itu.

Zahra yang terkejut hanya diam dan merasa bingung untuk menanggapi ucapan Alita. Satu hal yang dia pahami adalah ada sesuatu yang berubah. Ya, semuanya tak benar-benar seperti biasanya. Alita berubah. Sepuluh tahun persahabatan mereka. Nyatanya, Zahra tak benar-benar memahami bagaimana Alita yang sebenarnya. Tatapan itu, senyum yang terukir, dan ekspresi kehancuran yang samar-samar terlihat.

"Kau... kenapa?" Tanya Zahra, lagi. Suaranya terdengar bergetar dengan tubuh yang nyaris terjatuh dari atas sofa di mana dia duduk. "Kau tidak sedang memerankan karakter antagonis yang merasa cemburu karena aku memacari seseorang yang kau sukai, bukan?"

Alita hanya diam, sebelum akhirnya dalam hitungan milidetik sebuah tawa yang begitu keras terdengar. Zahra mulai ketakutan. Ingin beranjak pergi, tapi tak tahu caranya melangkahkan kaki. Tubuhnya seolah membeku dan jantungnya berdegup begitu keras.

"Kenapa kau terus mengatakan bahwa aku menyukai Juan?" Tanyanya setelah tawa itu dihentikan, "apakah kau lebih percaya ucapan orang lain ketimbang aku yang sudah sepuluh tahun bersamamu?"

Zahra tak menjawab. Dia bergeming di tempatnya. Lantas, sebuah keterkejutan lain mampir tatkala sesuatu terlihat mengkilap di balik tubuh gadis itu. Oksigen nyaris habis di rongga dada, dadanya terasa sesak, dengan kepala yang nyaris pecah. Suara kunci dipintu bahkan terdengar menakutkan untuk sekarang.

"Aku menyukaimu," ujar Alita yang lagi-lagi menambah daftar keterkejutan pada sosok itu.

"A-apa?"

"Dan aku tak suka melihatmu bersama orang lain," lanjut gadis itu.

"Kau gila,"

"Ya, aku gila karenamu."

"Hentikan, Alita!"

"Tidak bisa,"

"A-apa?"

"Aku tak bisa menghentikan semuanya,"

Tanpa diduga, pisau yang berada di balik tubuh Alita kini terarah pada gadis itu. Zahra yang terkejut tak mampu menghindar. Dalam hitungan milidetik, cairan merah itu terlihat merembes mengotori lantai dan mengenai bunga mawar putih yang ada di dalam pangkuan. Napas gadis itu masih terdengar walaupun putus-putus. Kedua matanya terbuka lebar seolah mengatakan ribuan makian pada Alita yang terdiam.

Hingga tusukan lain kembali dia berikan, sebelum akhirnya Zahra benar-benar menutup kedua matanya dengan rasa sakit yang perlahan hilang bersama kesadaran. Bau amis darah kini menyeruak menggelitik penghindu. Alita terus membabi buta, bahkan tak sadar bahwa gadis itu sudah meninggal.

"Aku benci saat mata ini melihat orang lain," katanya lalu mengarahkan pisau itu pada kedua mata Zahra yang sudah terpejam, "aku juga benci melihat bibir ini tersenyum pada orang lain," katanya lagi dan bibir itupun bernasib sama.

Alita lalu terdiam sejenak, kedua manik matanya memperhatikan bagaimana Zahra kini terbujur kaku dengan darah yang mengotori lantai kamar. Beberapa detik kemudian, gadis itu menusuk dirinya sendiri. Satu tusukan, darah terciprat ke arah dinding. Dua tusukan, darah keluar pada mulutnya. Tiga tusukan, napasnya tercekat. Sebelum akhirnya dia terjatuh ke atas lantai dengan sebuah senyum terukir pada wajah. Tangan yang kotor dengan darah itu terlihat menggengam tangan Zahra yang terbujur kaku di sebelahnya.

"Aku mencintaimu, Zahra." Ujarnya terakhir kali sebelum akhirnya memejamkan kedua bola matanya.

Kedua manusia itu kini terbujur kaku di atas lantai dengan darah yang mengotori sekujur tubuh, bunga mawar putih yang berada di antara keduanya ikut berubah warna. Hari itu, langit terlihat sedih dan memuntahkan jutaan liter air pada bumi. Sayangnya, bunga mawar putih memang diartikan sebagai bunga penghormatan kepada orang yang meninggal dunia. Alita dan obsesinya, seolah membuka mata orang-orang yang menyukai bunga itu.

Sebab, mawar putih tak memiliki arti yang membahagiakan.

Fin

Note; kisah ini tidak ada maksud untuk menyinggung suatu kelompok, agama, ras, ataupun individu. Cinta itu memang obsesi. Terlepas pada siapapun kmu jatuh cinta.

Al 💕

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now