That is the Proof (2)

13 2 0
                                    

Kebakaran Rumah
Sebuah rumah terbakar habis di kompleks A, jalan Abjad. Penyebab kebakaran belum diketahui.

Tubuhku benar-benar bergetar hebat sekarang, bahkan aku yakin bahwa kalau tanganku tak bertumpu pada dinding aku sudah terjatuh. Dadaku terasa sakit, mataku memanas, dan dinding retinaku seketika robek. Aku menangis. Buru-buru menghubungi nomor Jay lagi untuk kesekian kalinya, namun kali ini hanya ada suara dari operator yang mengatakan bahwa nomor itu sudah tidak aktif lagi.

Tiba-tiba saja suara pecahan kaca terdengar menggema, aku tersentak kaget dan langsung menatap ke arah pintu yang tertutup dengan mata membulat. Untuk beberapa detik aku bahkan merasakan napasku tercekat, tubuhku seolah terpaku di tempat, dan air mataku tak bisa lagi kubendung. Aku bahkan tak mampu mencerna semua hal yang terjadi saat ini.

"Kau di mana?" Suara itu, suara yang jelas-jelas aku kenal.

Alex. Ya, itu si pemilik suara husky itu.

"Apa kita akan bermain petak umpet?" Tanyanya lagi.

Aku yang bergetar langsung menggerakan kakiku walaupun kesulitan untuk mengunci pintu masuk ruang ganti. Detik kemudian, suara itu tak lagi terdengar. Aku buru-buru menghubungi siapapun yang bisa aku hubungi untuk meminta bantuan, namun tiba-tiba seluruh lampu padam. Aku kembali melirik pada ponsel berharap bahwa aku bisa meminta tolong pada orang, tapi pemberitahuan bahwa tak ada sinyal membuatku tersentak kaget untuk kesekian kalinya.

Bagaimana bisa?

"Baiklah, bersembunyilah. Sampai hitungan ke sepuluh, setelah itu aku akan mencarimu. Kalau kau kutemukan...,"

Suara hentakan sepatu terdengar jelas dari tempatku. Kali ini aku benar-benar terjatuh dan menangis dalam diam di tepi loker sembari membekap mulutku agar tak ada suara yang aku hasilkan. Ucapannya masih menggantung, sementara suara sepatu itu masih menggema. Mataku lantas membola lagi tatkala mendengar suara kenop pintu yang disentuh. Di dalam hati aku seolah pasrah dengan apapun yang tengah terjadi setelahnya.

"Kau akan menjadi milikku, ya?"

Bertepatan dengan ucapan itu keluar dari mulutnya, pintu yang kupikir akan di gebrak agar terbuka itu masih tetap tertutup. Suara hentakan sepatu kembali terdengar, sebelum akhirnya suara itu mengilang dan membuatku menghela napas lega. Aku kembali melirik ke arah ponsel, berharap bahwa ada sedikit saja harapan yang bisa aku jadikan tumpuan untuk bernapas lega. Tapi payahnya, sinyal pada ponselku tak juga terlihat.

Beberapa detik kemudian, suaranya kembali terdengar. Kali ini bahkan lebih mengerikan dari sebelumnya. Seolah suara husky yang mampu membuat gadis-gadis di kampus menjerit itu tak lagi bisa aku kenali dengan baik. Tidak, Alex tidak seperti ini. Suaranya tak seperti ini. Tapi aku masih terlalu waras untuk tak mengenali bagaimana wajahnya.

Sebenarnya apa yang terjadi sekarang?

"Satu...."

Aku lagi-lagi menangis.

"Dua...."

Suaraku tercekat.

"Tiga...."

Aku lagi-lagi membekap mulutku sendiri.

"Empat...."

Pasokan oksigen di paru-paruku seolah perlahan habis dan nyaris membuatku kehabisan napas.

"Lima...."

Air mataku tak bisa aku bendung secepat apapun aku menghapus mereka pergi.

"Enam...."

Tuhan yang telah lama menghilang kini mampir lagi di benakku.

"Tujuh...."

Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku berdoa pada Tuhan, hingga hari yang tak dapat aku jelaskan ini terjadi.

The Whalien ClubDonde viven las historias. Descúbrelo ahora