Kisah Anak Manusia Yang Dimabuk Cinta

14 2 0
                                    

Sebenarnya, tak ada yang benar-benar putih, atau bahkan hitam di hidup ini. Pun, tak ada yang benar-benar baik, atau buruk. Yang ada hanyalah perbuatan, yang akan selalu beriringan dengan konsekuensi.

Sebenarnya, kalimat seperti apa yang bagus untuk mendefinisikan arti dari kata cinta? Sebuah obsesi, atau keikhlasan? Sebuah kesabaran, atau malah keserakahan?

Matanya berkedip cepat, bersamaan dengan kaki yang terus dibawa untuk berlari. Jantung berdebar kuat, dengan kepala yang terlanjur berdebat tentang apa yang sebenarnya dia inginkan. Telapak kakinya terlihat dipenuhi oleh luka, tergores oleh bebatuan sebab kaki tak sempat memasang sebuah sendal. Rasanya pedih, tapi keadaan memaksanya untuk tidak merengek.

Napas terengah-engah, sementara suara teriakan masih terdengar jelas dari arah belakang. Pun, bising dari suara tembakan dari pistol milik para kumpeni yang tengah mengejar mereka yang menambah kesan dramatis pada pelarian mereka. Sampai kapan ini akan berlangsung? Tanya gadis itu dalam benaknya, sementara matanya sesekali melirik pada sosok yang masih setia menggengam tangannya.

Semuanya terjadi saat pagi-pagi buta tadi, saat orang-orang masih tertidur, bahkan matahari saja masih enggan untuk menampakkan diri. Pemuda itu tiba-tiba datang ke rumah yang mirip gubuk milik si gadis, mengetuk jendela yang terbuat dari kayu itu sembari berbisik memanggil nama si gadis.

"Gayatri, apa kau sudah bangun?" Tanyanya.

Pemuda itu bernama Pramono, umur keduanya baru menginjak lima belas tahun. Tapi, Pramono begitu yakin dan percaya diri bahwa dia bisa membahagiakan Gayatri tanpa bantuan ayahnya yang seorang gubernur. Tidak, dia benci pada ayahnya yang terlihat seperti pengemis di hadapan kumpeni. Tanah ini adalah milik mereka, tapi kenapa malah tunduk pada orang asing yang menjajah?

Dengan keberanian yang terkumpul bersama ketakutan itu, mereka berlari begitu kencang meninggalkan desa. Terus berlari, hingga rasa lelah menghampiri dan memaksa keduanya untuk berhenti sejenak. Lantas, mereka duduk bersisian di bawah pohon jati besar sembari menikmati matahari terbit di balik bukit itu. Pramono mengukir senyum, lalu mengalihkan atensi pada sang gadis yang terlihat menikmati pemandangan di hadapannya.

"Setelah ini, kita akan hidup bahagia berdua. Aku yakin itu," ujarnya penuh keyakinan, menekan setiap kata yang dia ucapkan.

"Bagaimana kalau akhir bahagia yang kita damba, malah berujung sia-sia?" Gayatri akhirnya memberanikan diri untuk melempar tanya atas keraguannya, menatap lekat pada sosok sahabat kecil yang selalu menemaninya ini.

Barangkali, Gayatri merasa bahwa Pramono terlalu sempurna untuk dirinya. Pemuda itu keturunan darah biru, sementara dia hanyalah anak dari seorang budak tua yang berakhir menjual dirinya pada salah satu kumpeni Belanda untuk dijadikan gundik. Gayatri awalnya pasrah, toh, daripada melihat kedua orangtuanya mati sia-sia karena memberikan perlawanan, lebih baik dia menyerah dan menerima penawaran lelaki bermata biru itu.

Awalnya ingin memberi ucapan selamat tinggal pada Pramono, barangkali mendapatkan sebuah pelukan terakhir sebelum akhirnya dia pergi dan mengikhlaskan semua mimpi-mimpinya. Tapi entah kenapa, Pramono malah mengatakan sebuah ide gila yang membuatnya tersentak kaget.

"Kau tahu kalau aku mencintaimu, 'kan?" Tanya pemuda itu, dengan mata yang menatap lekat pada sosok Gayatri yang membeku.

"Kita masih kecil, Pramono. Kita belum paham tentang konsep cinta yang sebenarnya," jawabnya, pun langsung mengalihkan atensinya dari Pramono.

"Tidak, Gayatri. Aku tahu cinta itu seperti apa," tegas Pramono lagi, "pagi-pagi buta nanti, aku akan menjemputmu dan kita akan lari. Kau tidak perlu menjadi gundik, tapi jadilah istriku dan kita akan hidup bahagia berdua."

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now