That Is Proof (1)

9 2 0
                                    

Aku tersenyum sembari melambaikan tangan pada sosok yang kini pergi meninggalkanku sendirian di dalan kafetaria tempatku bekerja. Dia Rai, gadis yang juga pegawai di kafetaria ini. Awalnya aku meminta pada Rai untuk menemaniku menunggu kakakku, tapi karena sudah lewat jam sebelas malam dan dia tak mungkin menemaniku lebih lama, maka aku membiarkannya pulang lebih.

Sebenarnya aku bukan lahir dari keluarga tak mampu yang mengharuskan aku untuk bekerja paruh waktu seperti di drama-drama, atau yang hidup sebatang kara untuk melanjutkan hidup. Uang jajanku tak pernah kurang, kedua orang tuaku juga bekerja di kantoran dan aku tinggal di rumah yang nyaman. Hanya saja, selama pandemi ini aku merasa bosan terus tinggal di rumah. Jadi, aku mencari pekerjaan paruh waktu untuk mengisi kekosongan.

Saat pandemi seperti sekarang semua tempat memang ditutup lebih awal untuk mematuhi peraturan. Tapi sialnya, aku malah terjebak di tempat ini sendirian sembari menunggu kakakku menjemput. Kalau pulang sendirian, aku takut nanti dia memgamuk seperti beberapa hari yang lalu tatkala aku nyaris diperkosa oleh orang asing di gang dekat rumahku yang memang sepi dan tak ada kamera pengawas.

Tapi, kalau seperti ini terus maka aku akan tertidur di kafetaria lalu ketinggalan jam kuliah besok pagi. Walaupun kuliah daring, tapi tetap saja akan menyebalkan kalau aku malah sibuk kuliah saat kafetaria sedang dalam keadaan ramai. Jangan lupakan dengan keadaanku yang belum mandi, sebab bagaimanapun aku benci tubuhku yang belum mandi setelah bangun tidur.

Me
Kau di mana, sih?
Aku bosan di sini.
Di mana kau, Sialan?

Sudah kesekian kalinya aku mengirim pesan, tapi tak ada satupun yang dibalas oleh pemuda itu. Aku benar-benar merasa sebal. Lantas memilih untuk beranjak meninggalkan kafetaria bersama dengan kunci kafetaria untuk aku kembalikan besok pagi. Masa bodoh dengan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, sebab aku akan pulang sendirian dan sudah terlalu lelah untuk tetap menunggu Jay si sialan tukang ingkar janji itu.

Tatkala membalikkan badan setelah mengunci pintu, aku nyaris terjatuh saat seseorang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Jantungku nyaris lepas dari tempatnya, sementara sosok itu malah tersenyum lebar seolah terlihat seperti tak merasa bersalah dengan apa yang barusan terjadi. Aku terdiam sejenak, pun mendengus sebal sembari menatapnya tajam.

"Maaf membuatmu kaget," katanya kemudian.

"Mau apa ke sini? Tempatnya sudah tutup," ujarku jengkel.

Pemuda ini malah tersenyum, wajahnya terlihat seperti biasa-biasa saja padahal aku selalu bersikap kasar padanya. "Jay menyuruhku menjemputmu," jawabnya.

Sejenak aku terdiam dengan isi otak yang memikirkan sesuatu. Di dalam hati bertanya-tanya, sebab sejak tadi Jay tidak bisa dihubungi dan tidak memberitahu apa-apa soal ini. Oh, iya. Dia Alex, sahabat baik kakakku; Jay. Aku sebenarnya tak suka dia karena dia menyebalkan, bahkan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya padaku. Karena merasa risih, maka aku mencoba menjauhkannya dariku.

Tapi, sial. Kenapa Jay malah menyuruhnya menjemputku tanpa persetujuan lebih dulu dariku?

"Jay tak ada memberitahuku," kataku lagi dengan kening berkerut.

"Benarkah? Tapi memang dia yang menyuruhku," ujarnya memberi penjelasan sembari mengelus tengkuknya pelan.

Aku menatapnya sejenak, lantas menatap ke arah jalanan yang mulai sepi. Pun setelah dirasa cukup berpikir, akhirnya aku mengangguk menyetujui untuk pulang dengannya. Namun, entah kenapa aku seolah baru saja melihat sebuah senyum miring dari wajahnya. Walaupun tak begitu jelas, tapi itu nyata. Alex benar-benar tersenyum miring barusan.

Langkah kakiku terhenti, pun berakhir menoleh ke arah belakang tepat di mana Alex berada. Sejemang aku tertegun, sebelum akhirnya kembali membalikkan badan sembari memainkan ponselku.

"Ada apa?" Tanya Alex tiba-tiba yang sontak membuatku tersentak dan memekik sebab dia kini berdiri di belakangku, bahkan deru napasnya dapat aku rasakan pada leherku.

"Aku...," aku terdiam sejenak sembari berpikir keras atas jawaban seperti apa yang akan aku katakan, "aku harus menghubungi Kak Jay, katanya tadi dia mau menitip sesuatu di minimarket."

"Baiklah,"

Setelahnya, aku buru-buru meraih ponsel dan menghubungi nomor Jay yang sialnya malah terdengar suara operator perempuan di seberang sana. Tidak, aku benar-benar takut sekarang. Jantungku berdegup kencang, apalagi saat ini dia terlihat menatapku tajam dengan pintu penumpang yang sudah terbuka seolah sudah tak sabar menungguku untuk naik.

"Sepertinya aku meninggalkan sesuatu di kafetaria," kataku lagi-lagi mencari alasan.

Alex lantas mengangguk, pun menutup pintu mobil sembari membalas. "Baiklah, akan kutunggu di sini!" Serunya dengan senyum itu lagi, yang sekarang terlihat mengerikan.

Tanpa menunggu waktu lebih lama, aku berlari cepat menuju kafetaria sembari mengunci pintu itu dari dalam. Saat mengunci pintu, aku dapat melihat bagaimana tatapan Alex yang terlihat tajam menatap ke arahku. Tidak, ada yang aneh sekarang. Aku lantas buru-buru masuk ke dalam ruang ganti, menyalakan TV dengan harapan agar suaraku yang menghubungi seseorang tak terdengar.

Namun sial, aku malah menemukan sebuah berita yang membuat tubuhku lemas dengan kepala yang mendadak pening.

Kebakaran Rumah
Sebuah rumah terbakar habis di kompleks A, jalan Abjad. Penyebab kebakaran belum diketahui.

Rumahku terbakar dan aku malah terjebak di sini dengan tubuh bergetar ketakutan.

Sebenarnya, apa yang terjadi di sini? []
























Wait for 2nd part 😂
Maaf kalau gaje 🙆🙏

Best regards;
Al 💕

The Whalien ClubDonde viven las historias. Descúbrelo ahora