Suicide Squad

11 3 0
                                    

~•~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

~•~

Pada kenyataannya, manusia itu terlahir sendirian. Tak akan ada yang benar-benar bisa mengisi kekosongan, memperbaiki sesuatu yang rumpang, atau mungkin menjanjikan kebahagiaan. Tidak. Manusia terlahir dengan beragam masalah yang berbeda-beda dan ada kalanya keegoisan membawanya pada amarah yang bergejolak di dalam kepala. Lantas setelahnya, gejolak untuk saling membandingkan muncul. Seolah berlomba siapa yang paling menderita di dunia ini.

Jadi, tak aneh kalau banyak orang-orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tuhan yang selalu diagungkan tak cukup untuk memberikan keyakinan atas akhir bahagia yang akan didapatkan, sementara biaya ke psikolog bahkan lebih mahal ketimbang biaya untuk makan sehari-hari. Payahnya, tak semua orang terlahir kaya. Manusia? Tidak. Mereka bukanlah sesuatu yang pas untuk dijadikan tumpuan harapan atau barangkali tempat di mana kepala akan bersandar.

Kenapa tidak bisa?

Ah, aku sibuk. Maaf, ya.

Benarkah? Semangat, jangan sedih lagi.

Anak tak berguna.

Kenapa gagal?

Kalimat-kalimat itu terus bermunculan di dalam kepala, seolah kaset lama yang berputar nyaring dan membuat pening. Dia memang bukan anak yang sempurna dan mampu membanggakan kedua orang tuanya, hanya saja dia pikir kegagalan yang dia dapatkan bukanlah sesuatu yang harus benar-benar dijadikan sebagai masalah yang begitu besar dan memalukan. Dia muak. Rasa-rasanya seperti dilahirkan sebagai alat untuk membanggakan diri. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Hingga dia sendiri nyaris lupa tentang dirinya sendiri.

Teman? Ah, jangan konyol. Dia bahkan tak tahu teman yang sebenarnya itu yang seperti apa. Yang selalu mengatakan semangat, tapi menjunjung tinggi keegoisan. Atau, yang menyalahkan dan mengatakan bahwa dia iri terhadap hidup gadis itu. Benar, manusia lahir sendirian untuk mengerti bahwa tak ada satupun manusia yang memahami dirinya sendiri ketimbang orang lain.

Goresan kesakitan yang memenuhi lengan terlihat tatkala lengan baju yang dia pakai merosot dari tempatnya saat dia mencoba meraih ujung pembatas untuk meloncat masuk pada tempat itu. Hutan Pearl Garden tak pernah meninggalkan kesan yang baik. Benar. Tempat ini adalah tempat di mana jiwa-jiwa menyedihkan itu tersimpan. Mungkin ratusan atau bahkan ribuan. Sudah bertahun-tahun. Makanya diberi pembatas. Tapi, tetap saja. Manusia yang putus asa akan melakukan segala hal untuk meneruskan keinginannya mengakhiri hidup.

"Kau tak akan melakukannya, 'kan?"

Leila, gadis itu, tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Tali yang akan dia gunakan untuk mengakhiri hidup terjatuh dari genggaman. Kedua bola matanya terbuka lebar, sementara rahangnya nyaris terjatuh. Jantungnya berdetak begitu kencang. Sementara sosok itu masih berdiri di sana dengan kedua manik terpaku pada gadis itu.

Leila bukan hanya kaget pada kedatangan pemuda asing itu. Tapi, penampilan pemuda itu juga yang menjadi alasan kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Wajahnya penuh lebam, kaos berlengan pendek itu mengekspos goresan pada lengannya yang nyaris memenuhi permukaan epidermis itu dan terlihat membekas. Kaki tanpa alas itu penuh dengan luka dan jangan lupakan lingkaran hitam pada kedua matanya.

Apa aku terlihat seperti itu? Monolognya di dalam hati.

"Jangan lakukan itu," katanya lagi.

Kening gadis itu lantas mengerut, kaki berbalut sepatu converse berwarna abu-abu itu melangkah mundur. "A-apa?"

"Jangan lakukan itu," ulangnya, "rasanya sakit dan kau akan menyesal."

"Apa-apaan kau ini?" geram Leila bersamaan dengan rasa takutnya.

Pemuda itu mendengus, lantas mendongakkan kepalanya. "Kelak kau akan merasakan bagaimana sakitnya putus asa karena ingin hidup,"

Leila terdiam, keningnya masih terlihat berkerut. Lantas beberapa detik kemudian, gadis itu mengikuti arah pandang pemuda itu. Sepersekian detik kemudian, rasa terkejut itu sukses membuat tubuhnya lemas dan terjatuh. Mulutnya terbuka lebar, dengan kedua manik yang terlihat bergetar. Pemuda itu lantas kembali menatapnya, sebuah senyum miris terukir pada wajahnya.

"Jangan lakukan dan tetaplah hidup sekalipun kau hidup hanya sebagai pecundang."

Setelahnya, Leila berlari terbirit-birit tanpa menoleh ke arah belakang. Di sana, tepat di atas kepalanya dia melihat bagaimana tubuh sosok yang baru saja berbicara dengannya tergantung dengan kedua bola mata terbuka lebar seolah tengah menatapnya dengan mimik wajah penuh kesedihan dan seolah berbisik lirih meminta pertolongan.

Fin

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now