Saudara Perempuan

6 2 0
                                    

Suara dentingan piano terdengar mengisi ruangan yang redup. Semua mata menatap pada sosok yang berjalan sembari melempar senyum manis dan lebar. Pakaiannya begitu indah. Riasan dan mahkota di kepalanya menambah keindahan gaun putih yang menyapu lantai altar. Seorang pastur nampak menunggu di ujung sana. Semua makhluk di muka bumi ini nampak takjub padanya.

Hari ini langit nampak cerah dengan awan yang bergumpal bak permen kapas dengan langit biru yang menyerupai kanvas raksasa. Dunia ikut bahagia dengan hari ini. Semua orang tersenyum. Dunia ikut tersenyum. Alunan lagu terdengar begitu merdu—seolah-olah menjadi lagu paling merdu di dunia.

"Kau baik-baik saja?" sosok itu tersentak kaget. Dia menoleh, kemudian melempar tanya padan sosok itu. "Apa aku terlihat baik-baik saja di matamu?"

Sosok itu mengedikkan bahu, pun menjawab lirih dengan kedua mata yang kembali fokus pada sosok di atas altar. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, kau terlihat tersenyum beberapa kali, lalu terdiam dengan tatapan kosong. Aku benar-benar tidak bisa membaca pikiranmu," jawabnya bingung.

Dia terkekeh pelan, kemudian menjawab dengan kedua manik yang fokus menatap ke depan. "Aku bahagia, tentu saja. Bagaimana bisa aku tidak bahagia di saat saudara kembarku menikah dengan kekasihku? Kau lihat, perempuan itu tersenyum begitu manis seolah-olah dunia tengah menghujaninya dengan berton-ton gula."

Sosok itu terdiam, sedangkan dia kembali tersenyum lebar. Di depan sana sang pengantin wanita sudah disambut oleh pengantin lelaki. Prosesi ikrar janji mereka telah dimulai. Pastur yang berdiri di hadapan mereka mulai mengucapkan janji yang telah disiapkan. Beberapa orang tersenyum, ada juga yang menangis karena terharu.

Satu per satu janji sudah disebutkan. Sang pengantin wanita tersenyum begitu manis dengan tatapan hangat, tetapi sosok di sebelahnya terlihat tak semangat. Seolah dia tengah menghadapi sebuah hukuman yang siap untuk membunuhnya saat itu juga. Namun semua orang tidak melihat itu, semua orang hanya fokus pada kebahagiaan yang ada di sana.

Lantas setelah selesai mengucap janji, sang pastur kemudian menyuruh mereka saling berhadapan. Satu kalimat terucap. Sang pastur memberikan mereka waktu untuk mengecup bibir masing-masing. Hanya saja sang pengantin pria kembali diam, kedua matanya melirik ke arah bangku tamu undangan. Tatapannya terlihat menyiratkan sebuah kehancuran.

Dia berdiri, kemudian berkata pelan. "Aku harus pergi, ada beberapa hal yang harus aku lakukan."

Setelahnya dia beranjak pergi, membawa kakinya yang terasa berat melangkah menjauhi katedral. Dadanya sesak. Dia ingin memuntahkan semua isi kepala dan juga hatinya, tetapi semua itu kembali tersimpan di dalam kepalanya. Dia tidak mampu melakukan semuanya.

Tepat setelah keluar, dia terdiam di bawah sebuah pohon palm. Dedaunan pada pohon itu melambai diterpa angin yang menghadirkan suara desir angin yang menenangkan. Rasanya dia ingin duduk di bawah pohon itu dan merebahkan diri saja, tetapi yang dia lakukan hanya berdiri sembari bergeming dengan isi kepala yang begitu berisik.

"Kenapa kau melakukannya?"

Lagi-lagi dia tersentak kaget, dia kemudian memutar tumit dan menemukan sosok itu berdiri di hadapannya. "Aku melakukan apa?"

Sosok itu terkekeh, "Memberikan kekasihmu untuk saudarimu," jawabnya, "Kau seharusnya mempertahankan lelaki itu, sekalipun dia begitu ingin bersama dengan kekasihmu dan memohon sembari bersujud di bawah kakimu. Sudah berapa banyak hal yang kau korbankan dan berikan untuknya?"

Berapa banyak, ya? Dia bertanya di dalam hati dan tentu saja tak menemukan jawaban dari pertanyaan itu selain kalimat 'banyak' yang tentu saja tidak bisa dia katakan. Dia sudah lupa dengan hal-hal yang dia berikan pada saudarinya itu. Entah itu hal sederhana seperti mainan favorit yang dibelikan sang ayah sebagai hadiah ulang tahun atau bahkan kekasih yang teramat dia cintai.

"Kau terluka banyak. Tubuhmu penuh dengan darah. Kau menangis dalam diam. Dadamu penuh dengan amarah. Kepalamu nyaris meledak. Kau seharusnya paham bahwa kau harus membahagiakan dirimu terlebih dahulu di atas kebahagian orang lain," sosok itu kembali berkata, nada suaranya terdengar marah.

Sejenak dia terdiam, kemudian berteriak. "Jangan sok tahu! Kau tidak tahu apa-apa, jadi tutup saja mulutmu itu!"

Sosok itu tersentak kaget dan berakhir tertawa kesal, "AKU ADALAH KAU, SIALAN! SUDAH DARI LAMA AKU MEMINTAMU UNTUK MEMBIARKAN AKU MENGUASAI TUBUHMU, TETAPI KAU TETAP SAJA MENOLAK! BODOH!" teriaknya.

Dia tertegun. Suasana nampak hening dan membuat teriakan orang-orang di dalam sana terdengar semakin jelas. Orang-orang di dalam sana tengah bersuka cita. Acara pernikahan yang seharusnya dilaksanakan untuk dirinya sudah selesai. Lelaki yang dia cintai telah menjadi milik sang saudari kembar.

Pintu katedral kemudian terbuka, pengantin lelaki muncul dari sana. "Lihat dia, lihat! Dia terluka! Tak ada kebahagiaan di wajah lelaki itu! Dia hancur!" sosok itu berteriak.

Dia hanya diam. Tidak memberikan reaksi yang seharusnya dia tunjukkan, tidak pula berlari menghampiri guna memberikan pelukan hangat dan menarik tangannya seperti yang kepalanya ingin lakukan. Dia bergeming. Isi kepalanya terus terdengar berisik.

"Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" tanyanya lirih, dia kemudian merebahkan tubuh di bawah pohon palm seperti yang dia inginkan tadi. "Aku lelah, aku ingin tidur. Sekarang kau bisa mengambil alih tubuh ini dan melakukan apa pun yang kau inginkan."

Headline news

Telah terjadi penembakkan yang dilakukan oleh A di sebuah katedral di pusat kota saat pemberkatan pernikahan B dan C. Menurut keterangan pihak berwenang, A adalah saudari kembar dari B. Sedangkan pihak polisi tidak mengetahui motif penembakkan itu karena pelaku ditemukan tewas tak jauh dari katedral. Dugaan sementara A melakukan bunuh diri setelah menghabisi keluarganya.

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now