26

909 80 2
                                    

" Semuanya sudah sedia."

Luna dan Brenda berpandangan sesama sendiri. Mereka kemudian perlahan membaringkan diri di atas satu batu besar secara bersebelahan dan berpegangan tangan.

" Tutup mata anda." arah Pendeta Tertinggi.

Luna dan Brenda kemudian perlahan menutup mata. Terasa debaran yang menggila menanti apa yang akan berlaku pada mereka nanti. Adakah ia berjaya atau tidak?

Telinga Luna menangkap satu persatu patah perkataan bahasa asing yang diucapkan oleh Pendeta Tertinggi. Upacara ini dijalankan secara rahsia. Pihak Kuil merahsiakan hal ini  untuk mengelakkan ilmu pertukaran roh diketahui umum.

Pada mulanya, semua berjalan lancar namun tiba-tiba erangan dan jeritan kesakitan mulai kedengaran di ruangan upacara tersebut. Luna dan Brenda menjerit kesakitan, jantung mereka terasa seperti dicengkam, seluruh tubuh mereka merasa panas seakan-akan dibakar hidup-hidup. 

Tangan mereka tidak berhenti memukul  dada menahan rasa sakit yang teramat mencengkam jantung mereka. Luna dan Brenda masing-masing  merasakan ingin merobek dadanya sendiri. Akibatnya, tangan mereka ditahan oleh beberapa orang pendata agar tidak berlakunya kecederan kerana tindakan agresif mereka.

Oleh kerana tidak sanggup menahan rasa sakit tersebut, Luna dan Brenda akhirnya pengsan. Walapun begitu upacara tersebut tetap dijalankan dengan bantuan para pendeta termasuklah pendeta tertinggi Kuil Northstead.

Luna perlahan membuka matanya, tangan mulai meraba tengkuk yang terasa kering. Luna memerhati keadaan sekelilingnya.

" Ini bukan Kuil northstead."

Luna perlahan bangkit dan ingin melangkah namun kakinya terasa amat lemah dan akhirnya jatuh terduduk di atas tanah.

" Brenda.." Luna memandang sekelilingnya mencari Brenda namun bayangan Brenda langsung tidak kelihatan.

" Aku kat mana ni?" soal Luna sendiri.

Tidak ada sesiapa pun kecuali dirinya sendiri di tempat yang luas tersebut. Badan Luna ketika ini amatlah lemah untuk bertahan lalu rebah di atas tanah. Luna kemudian mendonggak memandang langit.

" Apa yang jadi?" bisik Luna perlahan.

Luna kemudian memejamkan matanya. Ingatan masa lalu mulai bermain di minda Luna. Satu-persatu wajah yang dikenalinya menerjah di ruang minda. Luna hanya mampu mendiamkan diri apabila bayangan wajah keluarganya bermain di minda. 

Satu titisan air mata Luna perlahan mengalir dari tubir matanya yang tertutup rapat.

" Kenapa hidup aku malang?"

" Kenapa aku yang mesti laluinya sendiri?"

" Kenapa aku?" 

" Kenapa?"

Tangisan hiba Luna mulai kedengaran. Dia tidak sanggup ingin bertahan hidup. Semua yang dilaluinya penuh dengan penderitaan. Tidak ada walau satu pun sinar bahagia dalam hidupnya.

" Ibu... Ayah... Adakah Luna dilahirkan dengan takdir malang? Kenapa mesti Luna yang laluinya sendiri? Luna tak kuat untuk hadapinya sendiri.. Luna tak kuat.." rintih Luna dengan lemah.

" Luna anak ibu.." 

Serta-merta Luna membuka matanya apabila mendengar bisikan ibunya. 

" Ibu?" Luna perlahan bangkit dari pembaringannya.

" Kenapa perlu memikirkan kejadian yang malang sedangkan kebahagian juga terselit diantaranya.." 

Air mata Luna kembali deras mengalir apabila melihat wajah ibu yang amat dirindui.

" Ibu..Ibu...Bawa Luna bersama ibu..." Luna menyembamkan wajahnya di riba sang ibu. Menangis bagaikan seorang anak kecil.

" Sayang Luna, anak perempuan ibu..." tangan itu perlahan naik mengusap penuh kasih rambut anaknya.

" Luna rindukan ibu...rindukan ayah...rindukan adik-adik.." 

" Semua yang ada di dunia ini...semuanya tidak bermakna tanpa ibu dan ayah... Hidup Luna kosong tanpa ibu dan ayah..tanpa adik-adik... Luna menderita ibu... Luna tak sanggup lagi nak hadap semuanya... Semua orang tinggalkan Luna.. Semua orang pergi dari hidup Luna... Luna sorang-sorang, ibu.." Luna mengadu dengan tangisan hibanya berharap agar ibunya faham akan keadaan dirinya.

" Ibu faham, sayang.. Tapi Luna kena ingat.. Jangan pernah menjadi tawanan masa lalu kamu, ia cuma satu pengajaran untuk Luna, bukannya hukuman seumur hidup.."

Luna berhenti menangis seketika apabila mendengar ayat yang terpancul keluar dari bibir ibunya, dia kemudian mendongak memandang wajah sang ibu yang tersenyum manis.

" Maksud ibu?"

" Luna.... Jangan tutup buku itu hanya kerana ia babak yang buruk berlaku dalam hidup kamu, kamu hanya perlu buka halaman yang baru dan mula menulis... Kamu juga tidak akan dapat memulakan babak yang baru sekiranya kamu masih lagi membaca semula yang terakhir... Terimalah hidup ini dengan hati yang tenang dan lapang.. Dan semuanya, akan baik-baik sahaja...Ingat Luna.. Hidup ini mempunyai banyak babak.. Satu babak yang buruk tidak bermaksud itu adalah pengakhiran sebuah cerita.."

Luna termangu sendiri setelah mendengar kata-kata ibunya. Satu titisan air matanya menitis di pipi, hatinya tersentuh dengan kata-kata ibunya.

" Bangunlah... Mulakan halaman yang baru.. Seperti yang kamu inginkan.."

" Ibu.." Luna dengan segera mendakap tubuh ibunya dengan erat.

" Ibu.."

" Cik Luna?"

Tiba-tiba satu suara asing menerjah masuk ke hawa telinga Luna. Terasa sesuatu yang dingin melekap di dahi Luna menyebabkan Luna terpaksa mencelik matanya.

Dua wajah lelaki asing menghiasi pandangan mata Luna, mata ungunya memandang satu-persatu wajah lelaki asing itu.

" Saya kat mana?" soal Luna dengan suara yang serak.

" Cik Luna kat dalam bilik tetamu... Cik Luna tak sedarkan diri lebih dari 7 hari.." jelas lelaki asing disebelahnya yang sedang memerah kain basah lalu dilekapkan di dahinya.

" Brenda?"

" Ouh, Cik Brenda sudah selamat pulang ke rumahnya semalam.. Cik Luna-"

" Apa? Sudah pulang?" potong Luna segera apabila mendengar kenyataan yang keluar dari bibir lelaki asing itu.

" Ya, semalam.. Cik Brenda sudah pulang"

Luna tergamam, dia dengan segera turun dari katil tersebut.

" Eh, Cik Luna sekarang belum pulih lagi."

Luna langsung tidak mengendahkan kata-kata lelaki itu dan segera melihat dirinya di cermin. Luna jatuh terduduk apabila melihat dirinya di dalam pantulan cermin tersebut. Wajahnya dipegang dan dibelek.

" Aku... Dah kembali." tangan Luna perlahan naik memegang permukaan cermin tersebut.

" Cik Luna, tak apa-apa?"

" Saya.. Tak apa-apa.." jawab Luna namun dia masih lagi leka merenung wajahnya di dalam pantulan cermin tersebut. Luna merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

" Kalau begitu Kami keluar dulu.. Jika Cik Luna perlukan apa-apa Hanya perlu bunyikan loceng yang terdapat di meja sebelah katil.."

Luna hanya diam, tidak menghiraukan lelaki itu. Mata ungunya masih lagi melekat di cermin tersebut. Perilaku Luna itu mengundang kehairanan dua orang lelaki yang berada di bilik tersebut. Luna seolah-olah tidak pernah melihat dirinya di dalam pantulan cermin itu.

" Ya." jawab Luna perlahan.

" Kami pergi dulu." dua lelaki asing itu kemudian keluar dari bilik Luna, membiarkan Luna bersendirian di situ.

" Akhirnya.. Semuanya kembali seperti sedia kala.." Luna senyum bersama titisan mutiara jernihnya.

Luna menangis melekapkan wajahnya di permukaan cermin tersebut, dia bagaikan tidak percaya dengan apa yang berlaku padanya.

" Ibu.. Semuanya sudah kembali seperti sedia kala..."

LIVING WITH A LIE (COMPLETE✔️✔️)Where stories live. Discover now