4. Sah!

5.6K 328 3
                                    

Sejak kejadian setengah jam yang lalu, entah kenapa Gadis menjadi segalau ini. Apakah keputusannya untuk menikah dengan Pradipta adalah hal yang benar dan pantas untuk ia jalani? Namun jika ia mundur, maka dirinya telah membuat malu keluarga. Terlebih Papanya memiliki sakit jantung. Di dalam tubuhnya sudah dipasangi ring sebanyak tiga. Tidak, sepahit apapun nanti, memilih Pradipta adalah keputusan yang sudah ia ambil. Lagipula andai saja apa yang ia dengar dibawah adalah sebuah kebenaran, maka setidaknya Pradipta sudah berusaha untuk mengakhiri hubungannya dengan perempuan itu.

Tok...

Tok...

Tok....

Sebuah ketukan di pintu kamar membuat Gadis kembali menapaki realitasnya. Cepat-cepat ia menyingkirkan pikiran-pikiran tidak penting yang baru saja lewat di benaknya.

"Come in."

Beberapa detik kemudian sosok Banyu Bimantara yang tidak lain adalah kakak Gadis masuk ke dalam. Gadis berusaha menampilkan senyum bahagia meskipun di dalam hatinya sedang merasakan kegalauan yang teramat berat.

"Eh, Mas... Kok sendiri aja?"

Banyu tersenyum seakan ia tidak mengetahui apa yang setengah jam lalu terjadi di dekat kolam renang. Meskipun ia tidak bisa mendengar apa yang menjadi pembicaraan hingga Gadis menangis dan berlari menuju ke arah lift, namun ia sudah melihat bagaimana interaksi calon adik iparnya dengan seorang wanita cantik dengan tubuh sintalnya. Perempuan itu berbeda sekali dengan Gadis. Bahkan meskipun ia belum menikah, tapi Banyu bisa melihat jika perempuan itu adalah orang spesial bagi Pradipta.

"Sejak kapan aku punya gandengan?" Tanya Banyu balik sambil mulai duduk di pinggiran ranjang.

Gadis menilih berdiri dan mendekat ke arah kakaknya. Ia duduk di samping kakak laki-lakinya yang tahun ini berusia 34 tahun namun belum kunjung juga menemukan pendamping hidup.

"Apa yang mas Banyu tunggu? Pekerjaan sudah mapan, umur juga sudah tidak muda lagi. Kayanya enggak mungkin sengaja nunggu aku langkahin biar dapat pelangkah 'kan?"

Banyu tertawa kecil dan ia gelengkan kepalanya. Usianya dan Gadis terpaut empat tahun, di mana sejak dulu sudah ia prediksi bahwa dirinya pasti akan dilangkahi oleh adik perempuannya ini.

"Lebih baik menunggu orang yang tepat daripada buru-buru tapi kita salah memilih pasangan."

Gadis langsung terdiam. Mungkinkah kakaknya ini sedang menyindir dirinya?

Melihat Gadis yang diam saja, Banyu memeluk pundak Gadis dengan tangan kanannya.

"Dis, apa kamu sudah yakin dengan keputusan kamu ini?"

Gadis mengangkat pandangannya untuk menatap kedua mata Banyu. Seakan paham dengan arti tatapan sang adik, Banyu melanjutkan kata-katanya.

"Maksud aku gini, menikah itu berarti kamu akan membagi seluruh hidup kamu bersama pasangan kamu. Itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan bila kamu aja yang berjuang sendirian sedangkan dia enggak. Sekali salah memilih pasangan, penderitaannya akan lebih berat daripada orang yang memilih untuk tidak menikah."

"Kenapa Mas ngomong kaya begini?"

"Kamu itu sama Dipta kenalnya cuma setahun sudah langsung menikah. Padahal untuk menikah itu, kamu harus mengenal dia luar dalam. Kamu harus tahu gimana sifat asli dia. Seperti saat dia marah, stress dan apakah dia setia bersama kamu untuk melalui sedih dan bahagia kamu? Enggak cuma itu aja, masih banyak hal yang harus kalian bicarakan bersama sebelum mengambil keputusan untuk bersama sampai akhir hayat."

"Hmm... Apakah itu penting sekarang, Mas?"

Banyu menganggukkan kepalanya, sedangkan melihat apa yang sang kakak lakukan, Gadis justru menggelengkan kepalanya.

"Percuma, Mas. Sebentar lagi aku akan diajak turun ke bawah. Sejujurnya aku tak banyak berharap akan seperti apa rumah tanggaku kelak sejak setengah jam yang lalu. Aku akan mencoba menjalani semua ini dengan baik. Semoga saja Tuhan memberikan kebahagiaan pada runah tanggaku nanti."

Banyu mencoba menerima alasan Gadis. Lagipula perempuan seperti Gadis pasti akan mementingkan nama baik keluarga daripada kebahagiaan dirinya sendiri. Kini Banyu memilih segera pamit kepada Gadis karena ia akan turun ke bawah untuk mendampingi kedua orangtuanya. Sepeninggal sang kakak, siapa sangka jika air mata Gadis justru jebol lagi yang membuat MUA yang tadi merias wajahnya heran sendiri. Baru sekali ini ia bertemu dengan calon pengantin yang awalnya terlihat bahagia dengan rencana pernikahannya, tiba-tiba terlihat sedih di detik-detik menjelang ijab qobulnya.

***

Siang ini Gavriel duduk di samping Rachel. Sejak tadi ia sudah berusaha meminta Rachel agar tidak menangis. Ia tidak mau membuat orang-orang yang hadir di dalam ballroom hotel ini curiga. Karena Alena yang tidak sengaja bertemu dengannya tadi sudah langsung memberikan tatapan ingin tahunya tentang apa yang terjadi pada Rachel.

"Hel, jangan nangis lagi," Kata Gavriel pelan di dekat telinga Rachel.

Rachel menggelengkan kepalanya yang membuat Gavriel mengembuskan napas panjang.

"Jangan sampai orang-orang curiga!"

"Keluarganya Dipta sudah tahu semua tentang gue."

"Iya, keluarga Dipta, tapi keluarga dan koleganya Gadis enggak ada yang tahu tentang lo."

"Harusnya gue yang ada di sana, bukan Gadis."

Gavriel memutar kedua bola matanya dengan malas. Rasanya andai bisa dirinya ingin meninggalkan Rachel di tempat ini saja. Sayangnya di sudut terdalam hatinya, ia penasaran dengan keputusan apa yang akan Gadis ambil setelah kejadian di dekat kolam renang tadi. Akankah Gadis tetap menikahi Pradipta meskipun ia sudah mendengar semuanya? Jika iya, maka benar kata Antonio yang memberikan gelar 'Stupid Girl' pada sosok Gadis Sekarwangi.

Suara MC yang mengatakan bahwa pengantin wanita akan segera memasuki ballroom hotel menbuat Gavriel menolehkan kepalanya ke arah belakang. Siapa sangka ia justru melihat sosok Gadis yang mulai memasuki ballroom bersama Alena dan seorang perempuan yang sedikit mirip dengan Gadis namun dalam versi yang lebih muda. Kemungkinan perempuan ini masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan Gadis meskipun bukan adik kandung.

Kedua mata Gavriel terus mengikuti gerakan Gadis hingga akhirnya Gadis duduk di samping Pradipta. Di hadapan Pradipta ada laki-laki yang Gavriel tahu adalah Ayah Gadis. Ya, ia sering melihat fotonya di bingkai foto kecil yang ada di meja kerja Gadis.

Beberapa saat lantunan ayat suci dikumandangkan hingga akhirnya kini prosesi ijab qobul di laksanakan.

"Ananda Pradipta Andarto bin Samsudin Andarto, saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya dengan maskawin seratus lim puluh gram logam mulia dan uang tunai seribu seratus tujuh belas dollar dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Gadis Sekarwangi binti Sudibyo Bimantara dengan maskawin tersebut diatas dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah. Al-fatihah."

Sambil membaca lantunan surat al-fatihah secara lirih, air mata Gadis kembali keluar dari sudut matanya. Ya, kini dia sudah resmi menjadi nyonya Pradipta Andarto. Seumur hidupnya harus ia abdikan untuk suaminya. Apapun yang menjadi keputusan suaminya kelak harus ia patuhi dan ikuti meskipun secara tidak langsung itu sudah membunuh jiwa feminisnya yang selama ini melekat kuat di dalam dirinya.

***


From Bully to Love MeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ