24. Ternyata dia tak sejahat itu

4.4K 388 5
                                    

Hampir dua jam ini Gadis terus menerus berdoa dan berharap jika Gavriel akan berhasil mendapatkan bukti rekaman CCTV di rumahnya. Terlebih ia lupa memberi Gavriel kunci utama rumah. Semoga saja Gavriel dapat masuk ke rumah.

Tok...

Tok....

Tok....

Ketukan di pintu kamar membuat Gadis mengangkat pandangannya. Ia langsung tersenyum saat melihat Gavriel muncul di sana.

"Gimana, Gav?"

"Gue berhasil dapat rekaman itu."

"Alhamdulillah," Ucap Gadis pelan. Ia berusaha untuk turun dari atas ranjang namun Gavriel mengangkat tangannya yang seakan memberi tanda agar ia tidak pergi ke mana-mana.

Gadis memilih mengikuti perintah Gavriel hingga Gavriel duduk di kursi yang ada di dekat ranjangnya. Tak ada kata apapun dari Gavriel dan Gadis juga tak berniat bertanya sama sekali. Rasanya ini lebih baik bagi mereka saat ini, karena salah-salah memilih kata, kemungkinan besar mereka berdua akan bertengkar.

Ketika Gavriel mengulurkan sebuah flashdisk, meksipun sedikit ragu, Gadis mencoba mengambilnya. Sayangnya ketika tangannya hampir meraih flashdisk itu, Gavriel langsung menariknya kembali hingga membuat Gadis membelalakkan kedua matanya.

"Sebelum lo ambil ini. Lo harus cerita sama gue dulu semuanya."

Gadis mencoba menarik oksigen sebanyak-banyaknya dan pelan-pelan ia mengembuskannya. Ia berharap dirinya tidak akan lepas kendali saat menghadapi Gavriel. Toh Gavriel sudah mau membantunya untuk mengambil rekaman CCTV itu.

Sambil menatap kedua mata Gavriel, Gadis berkata pelan, "Dari rekaman CCTV yang lo ambil tadi, seharusnya lo sudah tahu semuanya tanpa gue harus cerita."

Gavriel menganggukkan kepalanya namun ia ingin mendengar secara langsung dari bibir Gadis tentang apa yang terjadi.

"Okay, kalo lo memang enggak mau cerita. Ini lo ambil rekaman cctvnya dan segera lo lapor ke polisi atas KDRT yang lo alami," Ucap Gavriel sambil mengulurkan flashdisk itu lagi.

Gadis menggelengkan kepalanya. Baginya itu tidak akan setimpal dengan apa yang sudah Pradipta perbuat kepadanya. Paling-paling jika ia melaporkannya, hal pertama yang disarankan adalah mediasi lalu melakukan perdamaian. Padahal jika ia ingin berdamai, kenapa juga dirinya harus buang-buang waktu dan tenaga untuk lapor polisi?

"Jangan bilang lo masih mau mempertahankan rumah tangga ini hanya karena cinta."

"Cinta? Cinta itu apa sih? Setelah berumahtangga, cinta itu bukan hal yang utama dan segala-galanya."

"Lalu hal utamanya apa?"

"Iman. Orang yang memiliki iman akan menjalankan kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai umat manusia sebaik mungkin. Memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tapi setidaknya ia akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan hal yang Pradipta lakukan dalam rumah tangga kami."

"Lalu rencana lo sekarang apa?"

"Mengabari keluarga Pradipta tentang apa yang anak mereka lakukan kepada istrinya."

Gavriel mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Ia cukup terkejut dengan pilihan Gadis ini. Karena seharusnya ia melaporkannya kepada polisi dan bisa melakukan visum atas luka-luka yang ada di tubuhnya. Jika terlalu lama, maka luka-luka itu akan sembuh dan ia kehilangan kesempatan emas itu.

"Kalo gue boleh kasih saran, lebih baik lo ke kantor polisi, buat laporan supaya lo bisa segera divisum. Lo bisa penjarakan suami lo."

"Percuma aja, Gav. Ujungnya dia bisa bebas pakai uang jaminan juga. Gue akan kasih dia pelajaran yang membuat dia tidak akan bisa melupakan semua ini seumur hidupnya."

"Tapi, Dis..."

"Gue rasa ini jalan terbaik."

Meskipun sebenarnya Gavriel mulai gemas dengan sikap Gadis, tapi ia harus menjaga intonasi kata yang keluar dari bibirnya agar tidak naik beberapa oktaf.

"Coba singkirin amarah lo dulu. Sekarang lo coba fokus sama langkah pertama ini. Setelah lo lapor dan dapat bukti visum, kalo lo mau balas dendam sama dia dengan semua cara lo ini bisa aja. Ingat, Dis kalo bisa sih, cerai itu bukan cuma dapat status baru, tapi lo juga dapat kompensasi yang setimpal dengan apa yang lo rasakan selama ini."

Gadis menatap Gavriel dalam-dalam. Ia merasa bahwa apa yang Gavriel katakan kepadanya ini bukan cuma tentang kekerasan fisik yang baru saja ia terima namun lebih dari itu semua. Sepertinya Gavriel tahu lebih dari apa yang seharusnya diketahuimya.

"Maksud lo?"

"Yakin lo mau dengar semuanya dari mulut gue?"

Meskipun sedikit ragu, Gadis mencoba menganggukkan kepalanya.

"Okay, kalo itu mau lo, tapi tolong lo jangan sakit hati dengan semua fakta ini."

Gadis terdiam kembali meksipun sebenarnya ada sedikit ketakutan di dalam dirinya jika musuh bebuyutannya di kantor ini tahu tentang apa yang ia jalani setelah menikah dengan Pradipta. Hidup yang monoton dan secara tidak langsung ia hanya dijadikan perawat lansia oleh Pradipta serta keluarganya. Mungkin bagi Pradipta, ia hanya istri di atas kertas, namun sebenarnya Pradipta tak pernah menganggapnya ada dan nyata. Usahanya untuk menjadi istri yang baik dan berbakti kepada suami sia-sia karena sebaik apapun ia berusaha serta berjuang membuat suaminya jatuh cinta kepadanya, namun cinta Pradipta tak pernah menjadi miliknya.

Belum juga Gavriel membuka fakta-fakta yang ia ketahui tentang kehidupan Gadis, tapi Gadis sudah banjir air mata. Gavriel bisa melihat bagaimana Gadis mencoba menahan semuanya namun ia telah gagal. Andai bisa, Gavriel ingin memeluknya tapi ia urungkan niat itu karena ia tak mau Gadis berpikir macam-macam tentang dirinya. Seperti berpikir jika dirinya akan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Akhirnya Gavriel hanya menepuk-nepuk pelan pundak Gadis dengan tangan kanannya. Ia tak berbicara apapun hingga akhirnya suara tangisan Gadis yang menyayat hati itu mengisi kesunyian malam ini di tempat ini.

Hampir setengah jam Gavriel menunggu Gadis menumpahkan semua rasa sakit, kecewa dan kalahnya dalam bentuk tangisan hingga hampir setengah kotak tisu wajah habis. Kini setelah puas menangis dan tanggul air matanya kehabisan stock, Gadis memilih menatap Gavriel yang masih setia duduk di hadapannya.

"Lo sudah lihat gue sehancur ini, kalo lo mau mau menghina gue, waktu dan tempat gue persilahkan."

Gavriel hanya diam sambil menatap Gadis lekat-lekat. Dalam kepalanya justru sibuk memikirkan kenapa Gadis tidak sadar-sadar juga alasan ia masih setia duduk di sini. Demi apapun, Gavriel paling tidak suka melihat perempuan menangis terlebih itu Gadis. Karena itu sangat tidak cocok dengan sosok Gadis yang ia kenal selama ini. Baginya sangat bohong sekali jika ada orang yang mengatakan perempuan masih terlihat cantik saat menangis meskipun laki-laki itu memuji karena memiliki rasa cinta kepada wanita itu.

"Apa lo menganggap gue sejahat itu, Dis?"

Gadis cukup terkejut dengan pertanyaan balik yang ditanyakan Gavriel secara pelan ini. Bahkan Gadis belum menanggapi kata-kata Gavriel hingga Gavriel sendiri yang akhirnya sudah berbicara lagi dengan pelan tapi entah kenapa justru Gavriel yang berbicara dengan pelan sambil menatapnya fokus seperti ini membuatnya sedikit terintimidasi. Perasaan aneh macam apa itu? Ia berbicara dengan suaminya hingga mendapatkan KDRT saja tidak membuatnya terintimidasi apalagi takut, kenapa dengan laki-laki ini ia justru merasakan hal ini?

"Kalo gue sejahat pikiran lo, mana mungkin gue mau bantuin lo ambil rekaman CCTV itu. Mungkin telat satu jam saja bukti itu sudah hilang."

"Hilang?"

Gavriel mengangguk, "Dipta juga berusaha menghilangkan bukti itu. Sudah sejauh ini gue bantuin lo, apa lo masih beranggapan kalo gue ini jahat?"

Gadis terdiam. Karena ia tahu dirinya sudah keterlaluan pada Gavriel. Baru juga ia akan mengucapkan permintaan maafnya, tapi Gavriel memilih berdiri dan meninggalkannya karena ada telepon masuk ke handphone miliknya.

***

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang