40. Tamparan keras

4.4K 374 30
                                    

Pagi-pagi pukul tujuh Gavriel sudah  sampai di rumah Elang. Saat ia sampai di sana, suara Elang yang sedang membujuk Leander untuk sarapan adalah hal yang bisa ia dengar pertama kali.

"Le, kamu harus makan. Katanya mau ikut Ayah sama Bunda ke Lembang."

Gavriel segera menghentikan langkah kakinya ketika mendengar kata Bunda. Baiklah, memang ia meminta Leander memanggilnya Ayah karena ia sudah ingin ada orang yang memanggilnya seperti itu. Jadi ketika Elang dipanggil Papa oleh Leander, maka ia memutuskan untuk menjadi Ayah bagi bocah tiga tahun yang sudah yatim piatu itu.

"Jangan gitu, Le. Papa 'kan juga ada acara peresmian tempat karaoke di luar kota malam ini. Kamu ikut sama Ayah dulu. Nanti ada Bunda Gadis juga di sana yang temani kamu main."

Rasanya Gavriel ingin mementung kepala Elang saat ini. Bagaimana bisa ia memberikan gelar Bunda pada Gadis tanpa persetujuan Gadis terlebih dahulu. Segera saja Gavriel meneruskan langkah kakinya hingga ia tiba di meja makan berukuran besar. Saat sampai di sana, Leander sudah duduk di kursi makannya sedangkan Elang duduk di kursi yang ada di sebelahnya.

Seperti biasa, Gavriel segera menyapa Leander terlebih dahulu baru setelah itu ia menyapa Elang. Selesai menyapa penghuni rumah ini, Gavriel segera membantu Elang untuk membujuk Leander agar mau sarapan.

"Le, makan dulu, ya? Katanya mau jadi Batman?"

"Yang mau jadi Batman 'kan Ayah bukan aku."

"Berarti Gadis jadi Catwoman dong," Celetuk Elang tiba-tiba yang membuat Gavriel melemparkan serbet makan milik Leander ke arahnya. Lemparan Gavriel ini sukses mengenai wajah Elang. Elang tahu bahwa saat ini Gavriel memintanya untuk diam dan jangan ikut campur.

"Kalo begitu kamu jadi Robin, biar bisa bantu Ayah gimana?"

Leander menganggukkan kepalanya yang membuat Gavriel tersenyum.

"Sekarang Ayah suapin terus habis itu kita mandi."

Melihat sang keponakan yang sudah luluh pada Gavriel, Elang memilih menikmati menu sarapannya pagi ini. Sambil menikmati sarapan paginya, Gavriel mengajak Leander bercerita tentang kereta thomas dan teman-temannya.

"Heran gue sama lo, Gav. Lo itu sudah Ayah able banget, tapi kenapa enggak laku-laku, ya?"

"Lo kira gue barang dagangan?"

"Ya ibarat dagangan lo itu produk limited edition. Kalo jadi perempuan nih, gue bakalan mau punya suami kaya lo gini."

"Dasar standart ganda. Sama Adit bilang begitu, sama gue juga sama."

"Hmm, pilihannya berat sih ini. Adit itu suami able, kalo lo ini Ayah able. Tahu enggak bedanya apa?"

"Sama aja, beda penyebutan," Kata Gavriel sambil menyuapi Leander dengan gaya sendok yang diterbangkan terlebih dahulu sebelum masuk ke mulut.

"Kalo buat jadi suami, Adit paling oke karena saldo rekeningnya enggak kenal tanggal tua dan muda. Perempuan pasti happy-lah jadi istrinya. Apa aja bisa dibeli tanpa mikir panjang. Tapi dengan semua itu, Adit enggak akan punya waktu banyak buat keluarga apalagi istri. Kalo lo ini lain, lo adalah Ayah able. Hidup lo balance. Meksipun enggak setajir Adit dan masih jadi budak corporate sampai saat ini, tapi lo perhatian dan family man."

"Sok tahu."

"Apa yang selama ini gue lihat itu cukup menjadi jawaban tentang diri lo. Terutama dari cara lo memperlakukan Moanna sama Lean. Lo itu memperlakukan mereka seperti anak lo sendiri. Sejujurnya, gue banyak belajar dari lo buat jadi Papa yang baik buat Leander. Ternyata ya, pekerjaan terberat di dunia ini adalah menjadi orangtua."

"Oh, akhirnya berubah juga pandangan lo. Gue kira pekerjaan terberat adalah bangun pagi."

"Sejak ada Lean, meksipun gue baru tidur jam 3 juga jam 5 pagi gue sudah bangun."

Selesai menyuapi Leander, Gavriel menaruh piring itu di atas meja lalu ia mengangkat Leander untuk turun dari kursinya.

"Gue ajak Lean mandi dulu. Lo siapin barang-barang dia. Jangan sampai susunya ketinggalan."

"Iya, Ayah.... Bunda paham."

Mendengar jawaban Elang yang dikatakan secara sok manis ini membuat Gavriel menendang kursi yang Elang duduki. Memang apes hidupnya dikelilingi tiga laki-laki yang dua diantaranya sulit untuk diajak berbicara serius apalagi Elang.

***

Selesai sarapan, Gadis langsung bersiap-siap. Baru juga dirinya akan keluar dari kamar tetapi pintu kamarnya sudah diketuk dari luar. Segera saja Gadis membukanya. Kala membuka pintu itu, ternyata sosok Rachel ada di hadapannya. Meskipun terkejut dengan apa yang ia temui ini, namun Gadis berusaha menyembunyikannya.

"Ada urusan apa lo di sini?"

Rachel tersenyum mendengar pertanyaan Gadis. Perempuan ini benar-benar unik bagi Rachel. Ia sama sekali tidak bertanya kenapa dirinya bisa sampai di tempat ini pagi-pagi.

"Dipta."

"Oh, jadi lo dikirim sama Mas Dipta ke sini? Buat apa lo nyari gue?"

Bukannya menjawab pertanyaan Gadis, Rachel benar-benar menahan dirinya sekuat yang ia bisa meskipun yang ingin ia lakukan adalah meneriaki Gadis.

"Apa lo setega ini sama suami lo sendiri?"

"Maksudnya?"

"Lo bisa biarin keluarga lo ngelaporin suami lo atas tindakan KDRT dan perzinahan."

"Memang kenyataannya begitu adanya. Kenapa? lo enggak terima?"

"Kalo lo minta gue tinggalin Dipta, gue akan lakukan asal lo jangan membuat dia sehancur ini."

"Sampai saat ini gue belum berbuat apa-apa ke dia."

"Jangan sok polos, Dis. Setelah lo laporkan dia ke polisi, lo jual semua saham bahkan lo habiskan limit kartu kredit tambahan yang Dipta beri ke lo!"

"Harta suami adalah harta istri. Enggak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah lo yang mau menikmati semua itu berdua sama dia tanpa sepengetahuan gue sebagai istri sah! Dengan lo datang ke tempat ini, gue jadi semakin yakin kalo kalian melakukan semua ini secara sadar dan tidak ada penyesalan sama sekali."

"Picik lo, Dis. Asal lo tahu, Papa lo sudah membuat Dipta kehilangan pekerjaannya!"

Satu detik...

Dua detik....

Tiga detik...

Gadis diam dan ia masih mencerna apa yang Rachel katakan kepadanya. Apakah benar Papanya sudah bertindak sejauh ini tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengan dirinya? Meskipun ia harus berterimakasih karena Papanya sudah memudahkan langkahnya dan mempercepat proses semua ini, tapi rasanya Gadis kurang puas karena bukan ia sendiri yang melakukannya.

"Oh, lo tenang saja, Hel. Dia masih bisa kasih makan lo tiga kali sehari meksipun lo enggak akan hidup semewah gue nantinya."

Plak....

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gadis hingga pipinya terasa panas dan berkedut. Reflek, Gadis langsung membalas tamparan Rachel sekuat tenaganya. Melihat pipi Rachel yang menjadi merah karena kelakuannya, Gadis menyunggingkan senyum jahatnya. Apalagi saat Rachel mengelus pipinya dan tatapannya galak kepadanya.

"Gimana? Enak rasanya?" Tanya Gadis sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Perempuan gila!" Ucap Rachel dengan suara pelan yang Gadis tahu itu adalah puncak kemampuan Rachel untuk menahan amarahnya.

"Dengar gue baik-baik. Kalo kalian enggak mau diterkam, jangan pernah mengusik macan tidur."

"Okay, lo di atas awan sekarang tapi lihat aja nanti."

Tak ingin menanggapi perkataan Rachel, Gadis langsung menutup pintu kamar hotelnya dengan kasar hingga Rachel cukup kaget. Beberapa saat Rachel berdiri di depan pintu itu sambil menatap ke depan dengan tatapan penuh amarah. Dalam hatinya, ia sudah berjanji bahwa Gadis akan membayar semua yang ia lakukan kepadanya dan Dipta suatu hari nanti.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now