33. Akhirnya aku tahu yang sebenarnya

4.7K 368 4
                                    

"Setiap malam kita di sini, lama-lama jadi perjaka lagi," bisik Wilson di dekat telinga Gavriel.

Gavriel hanya melirik temannya itu dengan sudut matanya agar temannya itu diam dan tidak banyak bicara. Sudah beberapa hari ini sejak kejadian tragis yang menimpa keluarga besar Elang, mereka selalu berkumpul di rumah keluarga Elang setelah jam pulang bekerja. Tentu saja itu hanya berlaku untuk Gavriel dan Aditya sedangkan Wilson tentunya tidak akan lelah karena ia baru bangun tidur di saat siang menjelang sore.

"Bagus kalo begitu. Lama-lama nanti tante Wati bakalan kejar-kejar lo lagi."

Entah apa yang salah dengan kata-kata Gavriel, namun Wilson memilih langsung pergi begitu saja meninggalkan dirinya dan Aditya di kursi halaman belakang. Saat hanya berdua saja dengan Gavriel, Aditya mencoba menginformasikan mengenai apa yang ia temui sebelum datang ke tempat ini.

"Gue tadi lihat Gadis di lobby hotel."

"Iya, dia memang lagi ada di Jakarta."

"Terus lo mau membuang kesempatan lagi buat dekati dia?"

Gavriel mendongak lalu menghela napas panjang. Ia tahu bahwa perasaannya pada Gadis itu nyata namun ia tidak akan mau mendekati Gadis karena bagaimanapun juga, Gadis adalah istri orang. Ia tidak mau menjadi orang ketiga di rumah tangga Gadis. Sudah cukup Rachel saja yang mengambil peran itu, ia tidak akan ikut-ikut.

"Bagaimanapun juga, dia masih istri Pradipta."

"Memangnya Pradipta masih menganggap Gadis istrinya? Gue rasa Pradipta sudah bodo amat dengan Gadis."

"Seburuk-buruknya gue jadi laki-laki, gue enggak mau dekati istri orang. Ingat karma itu ada dan nyata."

"Andai kata Gadis cerai dari Pradipta, apa lo akan dekati dia dengan cara yang normal?"

Mendengar pertanyaan Aditya membuat Gavriel menyunggingkan senyum tipis. Sejujurnya ia tidak tahu bagaimana pendekatan yang normal karena setiap kali ada di dekat Gadis, yang ada mulut sampahnya tidak bisa direm. Kejadian di Bontang seakan menjadi sebuah kenyataan yang masih membuat Gavriel dejavu hingga saat ini. Benarkah ia bisa akur dengan Gadis? Tapi kenyataannya tiga tahun lebih tak bertemu Gadis membuatnya bisa menghargai setiap momment yang ada diantara mereka berdua. Setidaknya tidak ada hinaan, ejekan bahkan sindiran yang keluar dari mulut mereka berdua selama di Bontang.

Gavriel mengangkat kedua bahunya sedikit sebagai jawaban untuk Aditya karena ia sendiri tidak tahu akan seperti apa jika hal itu terjadi. Lagipula ia dan Gadis tidak tinggal di satu kota yang sama. Usianya juga bukan dua puluh tahunan yang masih santai saja jika harus menjalani long distance relationship.

Tidak, tidak... andai ia memiliki pasangan apalagi sampai menikah, ia pastikan bahwa dirinya tidak akan jauh dari pasangannya. Kenyataan hancurnya rumahtangga kedua orangtuanya dulu karena sang Papa lebih sering berada di luar kota bahkan luar negri membuat Gavriel tahu bahwa seorang istri tidaklah cukup jika hanya diberikan materi. Mereka butuh sosok suami yang selalu ada di dekat mereka setiap hari untuk berbagi keluh kesah karena saat istri tidak memiliki orang yang bisa ia ajak bercerita dan berkeluh kesah, bisa jadi anak menjadi sasaran empuk istri meluapkan apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin itu bukan hal yang paling mengerikan, karena yang paling mengerikan adalah hadirnya orang baru di kehidupan pasangan itu. Perceraian memang mungkin yang terbaik untuk pasangan, tapi tidak untuk anak-anak mereka yang jadi kehilangan pijakan dan contoh keluarga harmonis yang bisa membuat masa kecil mereka bahagia.

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, kali ini Gadis baru saja selesai berbelanja di Plaza Indonesia bersama Alena. Berbagai butik tas mewah ia masuki. Alena bahkan cukup terkejut melihat ia menggelontorkan uang puluhan juta hanya demi membeli sebuah tas.

"Lo tahu enggak, Dis. Dari dulu gue kalo masuk ke mall ini harus dandan yang paripurna," Ucap Alena sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sebuah resto yang ada di dalam mall itu.

"Kenyataannya sekarang lo jauh dari kata paripurna."

"Karena lo enggak bilang sama gue. Gue beli Longchamp sama Coach aja pakai cicilan. Lo beli Chanel udah kaya beli gorengan dua ribu tiga."

"Gue harus habisin uang ini secepatnya. Nih, buat lo," Kata Gadis sambil mendorong sebuah tas belanja yang ada di atas meja berisi parfum ke arah Alena.

Bukannya mengucapkan terimakasih, Alena justru menatap tas berisi parfum yang ada di depannya itu dengan tatapan penuh ketidakpercayaan.

"Serius ini buat gue?"

"Iya. Itu hadiah buat lo karena sudah membantu gue sejak di Bontang sampai sekarang."

Bukannya merasa senang, Alena justru diam dan menghela napas panjang. Ia tatap wajah Gadis lekat-lekat sambil menimbang-nimbang, haruskah ia menceritakan semuanya kepada Gadis? Sampai saat ini Gadis hanya mengetahui bahwa ia dan Gavriel memiliki pekerjaan yang mengharuskan mereka datang ke Bontang, padahal itu sama sekali tidak benar.

"Len, kok lo diam aja sih? Lo enggak happy gue kasih parfum? Kalo lo mau tas longchamp yang mini tadi, ayo, gue beliin."

Alena menggelengkan kepalanya. "Enggak, Dis. Sejak gue tahu kalo gue punya teman yang punya bisnis jual beli tas-tas import KW, rasa-rasanya kalo hanya buat sekedar ootd-an mending gue beli tas KW aja. Bosan tinggal buang. Mau jamuran atau dimakan rayap juga bodo amat."

"Bahaya lo kalo ke luar negeri terutama ke Eropa. Pakai barang KW bisa-bisa jadi masalah."

"Mau sampai ke sana duit dari mana? Gaji gue berapa? Kalo gajian sudah buat bayar cicilan sisanya buat hidup aja pas-pasan."

"Ngenes ya hidup lo, Len. Makanya enggak usah ambil KPR segala. Duitnya ditabung terus beli cash langsung."

"Bangke lo, Dis. Kaya lo enggak ambil cicilan apartemen aja," Ucap Alena sambil melemparkan gumpalan tisu ke arah Gadis.

Kegemasan Alena mampu membuat Gadis tertawa lepas malam ini. Ternyata mereka sama bodohnya. Mengambil cicilan dalam jangka waktu yang lama. Untung saja cicilan apartemennya sebentar lagi akan selesai, berbeda dengan Alena yang masih harus trus mengangsur hingga sembilan tahun ke depan. Setelah tawanya reda, Gadis bertanya tentang hal yang sebenarnya sedikit mengganjal hatinya.

"By the way, ada tugas apaan sampai lo sama Gavriel kemarin ke Bontang? Gue lupa mau tanya saking hanyutnya dalam suasana."

"Lo yakin mau tahu yang sebenarnya?"

"Iya."

"Tapi janji jangan marah setelah tahu semuanya?"

Meskipun terasa aneh dengan permintaan Alena kepadanya, Gadis memilih menganggukkan kepala. Melihat Gadis yang setuju dengan syarat yang ia berikan, Alena mulai menceritakan smuanya dimulai dari Gavriel datang ke rumahnya hingga akhirnya mereka sampai di Bontang. Mendengar semua penuturan Alena ini, Gadis hanga bisa diam di tempat duduknya. Otaknya sibuk memikirkan kenapa Gavriel bisa mengetahui semuanya padahal ia tidak pernah dekat dengan laki-laki itu. Jangankan dekat, sekedar berbasa-basi menanyakan kabar saja tidak pernah.

"Jadi gue rasa yang lebih berhak mendapatkan hadiah dari lo itu bukan gue tapi Gavriel."

Gadis menelan salivanya kala mendengar perkataan Alena ini. Terlalu sibuk memikirkan semua ini, otaknya justru macet secara mendadak.

"Tapi ini parfum perempuan. Jadi lebih baik buat lo aja."

"Terus lo mau kasih hadiah apa ke Gavriel? Sepertinya tanpa bantuan dia, lo tinggal nama aja, Dis sekarang."

"Nanti gue pikirin. Sekarang lo antar gue balik ke hotel."

Alena menganggukkan kepalanya dan kini ia mulai berdiri dari kursi yang ia duduki. Berbeda dengan tadi ketika mereka berangkat ke mall setelah Gadis cek in di hotel, kali ini Gadis justru diam seribu bahasa. Tidak perlu menjadi cenayang untuk tahu apa yang sedang Gadis pikirkan saat ini. Pasti Gadis sedang memikirkan semua kenyataan yang baru saja ia buka segamblang-gamblangnya.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now