69. Yang penting kalian baik-baik saja

3.6K 505 8
                                    

"Ganteng bener anak Papa," puji Elang kala melihat Leander sudah tampak rapi di dalam kamarnya.

"Iya dong. 'Kan mau ketemu sama Bunda."

"Jangan ganteng-ganteng kalo ketemu sama Bunda, nanti Ayah cemburu."

bugg.....

Sebuah tepukan di punggung Elang membuatnya menoleh, melihat sosok Gavriel ada di sana, mata Elang langsung membelalak.

"Ngomong sama anak-anak itu pakai filter."

"Sejak kapan lo datang?"

"Barusan," kata Gavriel sambil mulai berjalan memasuki kamar Leander.

Elang memilih memperhatikan Gavriel yang mulai beramah tamah dengan Leander. Meskipun ia adalah wali Leander dan setiap harinya dirinya yang selalu tinggal bersama bocah itu, tapi cara Gavriel memperlakukan Lean dengan caranya sungguh sangat jauh berbeda. Gavriel benar-benar memperlakukan Leander seperti anaknya sendiri, sedangkan dirinya terkadang belum terlalu bisa seperti itu sepenuhnya. Ia dan Leander seperti seorang teman bermain, hanya sesekali saja ia berperan menjadi seorang Papa untuk anak itu. Kehadiran Leander di hidupnya seakan menjadikan masa kecil yang ia lewati dengan penuh ketimpangan perhatian karena lebih banyak orang yang memperhatikan kakak tirinya daripada dirinya membuatnya mencoba kembali masa-masa kala kanak-kanak bersama Leander setiap harinya. Keberadaan Leander di rumahnya membuat Elang tidak merasa hidup seorang diri. Ada yang membat rumahnya terasa hidup dengan suara ceotehan, tawa bahkan tangisan Leander.

"Ayah, nanti Bunda tidur di rumah Ayah juga enggak?"

"Hmm... kayanya enggak, Le. Bunda tidur di hotel."

"Kenapa harus di hotel? di rumah Ayah 'kan ada kamar juga."

Elang yang mendengarkan pembicaraan Gavriel dan Leander berinisiatif untuk memberikan jawaban meski tak dimintai tolong oleh Gavriel.

"Lean... Kalo Ayah sama Bundamu satu kamar, nanti kamu punya adek. Kamu sudah siap belum kalo punya adek?"

Leander dan Gavriel menoleh untuk menatap wajah Elang yang tak tampak bersalah sama sekali setelah mengatakan hal itu. Andai tidak ada Leander bersama mereka, Gavriel pastikan ia sudah memberikan salam olahraga untuk temannya ini.

"Aku belum mau punya adek. Soalnya aku belum siap punya saingan."

Elang mendekatkan kepalanya di dekat telinga Gavriel. Kini ia memilih untuk berbisik di telinga Gavriel sepelan mungkin. "Tuh, dengerin. Anak lo belum siap punya adek. Jangan khilaf dulu malam ini sama Gadis."

Sebelum Gavriel bisa bereaksi atas kata-kata yang Elang ucapkan, Elang sudah ngacir duluan keluar dari kamar Leander sambil membawa koper anak milik Leander. Tak ingin memperpanjang pembicaraan tidak bermutu ini, Gavriel memilih mengajak Leander turun ke bawah karena kini mereka harus segera bergegas menuju ke bandara. Setengah jam lagi pesawat Gadis akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta.

***

Gadis menghela napas panjang setelah melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya. Sudah hampir satu jam ia menunggu kedatangan Leander dan Gavriel tapi dua orang itu belum juga tampak batang hidungnya sampai saat ini. Gadis sudah mencoba menghubungi nomer telepon Gavriel sebanyak tiga kali namun tak kunjung diangat juga. Daripada rasa kesal yang hinggap di dalam dirinya, Gadis merasa bahwa perasaan khawatirnya jauh lebih besar. Ia takut terjadi apa-apa pada Gavriel dan Leander di jalan. Sambil menatap layar smartphone miliknya, Gadis hanya bisa berdoa di dalam hati jika Gavriel dan Leander baik-baik saja saat ini.

"BUNDA...." Suara teriakan dari arah belakang tubuhnya membuat Gadis menoleh ke arah belakang. Tampak sosok Leander yang sedang berlarian ke arahnya. Bocah itu tampak bahagia dan senang melihatnya.

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang