18. Apakah dia orang yang tepat?

4.6K 344 9
                                    

Alena menatap Gavriel yang sejak tadi berusaha menghubungi seseorang tetapi tak kunjung diangkat. Meskipun awalnya Alena berusaha mengabaikan temannya itu, akhirnya ia tak kuasa juga untuk menanyakan kenapa Gavriel begitu panik?

"Dari tadi gue coba hubungi Rachel, Len tapi handphonenya enggak aktif."

"Kenapa enggak langsung telepon Gadis aja? Kita 'kan ke sini mau nyari Gadis bukan Rachel."

Pertanyaan santai yang dilayangkan oleh Alena sukses menguat Gavriel menutup handphonenya. Kini ia tatap Alena yang mempertanyakan ini tanpa rasa bersalah.

"Terus gue mau ngomong apa sama dia? Belum juga gue ngomong, yang ada dia sudah sewot duluan. Kaya lo enggak kenal Gadis aja."

"Gue yakin dia bisa jinak kok Gav ke lo."

"Sepanjang gue kenal sama dia, belum pernah ada sejarahnya kita akur kecuali waktu di depan atasan dan client."

Alena memutar kedua bola matanya dengan malas. Jika memang kedua temannya ini membenci sebegini hebatnya kenapa juga Gavriel justru menjadi orang yang paling khawatir dan takut tentang apa yang akan terjadi pada diri Gadis? Toh harusnya dia merasa bahagia minimal tidak peduli dengan apa yang terjadi pada musuhnya. Hanya satu hal yang bisa menjadi alasan kenapa Gavriel berperilaku seperti ini, yaitu cinta. Jika bukan cinta lalu apa?

Menyadari kegoblogan rekan kerjanya ini, Alena menjadi tersenyum tipis. Kelakuan Gavriel benar-bensr seperti anak SMP yang baru merasakan jatuh cinta untuk pertama kali.

"Lo itu kalo cinta bilang cinta. Ngapain sih muna?"

"Cinta sama Gadis?" Tanya Gavriel balik dengan nada penuh keheranan.

Dengan segenap keyakinan, Alena menganggukkan kepalanya. "Yes."

"Kaya enggak ada perempuan lain aja."

"Oh, jadi lo sebegini perhatiannya sama mantan-mantan teman kerja lo? Tapi aneh ya, waktu si Quin kemarin kecelakaan lo enggak sepanik ini pas dengar kabarnya? Bahkan kita tengok ke rumah sakit juga lo santai aja enggak ada sewot-sewotnya."

Gavriel langsung terdiam kala Alena mengungkit tentang kejadian dua bulan lalu saat mereka mendapatkan kabar jika mantan teman sekantor mereka mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit.

Melihat ekspresi Gavriel, Alena tersenyum.

"Sudah, lo enggak usah menyangkal. Lagipula anak-anak sebenarnya sudah tahu dari jaman dulu. Jauh sebelum Gadis kenal sama Dipta. Salah lo sendiri, kenapa treat Gadis pakai cara yang bikin hipertensi."

Gavriel tak menanggapi kata-kata Alena. Memang paling benar ia diam dan tidak membahas masalah ini. Untuk apa juga ia jujur pada Alena? Toh Gadis sudah menjadi milik orang lain. Sebesar dan sedalam apapun perasaannya pada perempuan itu, ia harus menguburnya dalam-dalam.

Di waktu yang sama dan di jalan yang berbeda, Dipta sedang melajukan mobilnya sekencang yang ia bisa. Rachel yang duduk di sampingnya hanya bisa diam tak berbicara apa-apa. Bukan ia tidak mau membahas masalah apa yang terjadi pada Dipta dan Gadis, tetapi kali ini Dipta masih menyetir. Jika sampai Dipta kehilangan konsentrasinya, maka yang ada tidak hanya Dipta yang celaka, tapi dirinya juga.

Baru saat mobil yang dikemudikan Dipta berhenti di sebuah parkiran hotel, Rachel bisa menghela napas panjang. Kini ia buka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Bukannya langsung turun, Rachel justru menghadap ke arah Dipta.

"Why?" Tanya Dipta ketika melihat Rachel sedang menatapnya dengan tatapan yang biasa Rachel berikan kepadanya setiap kali ia berbuat salah.

"Kenapa kamu jadi kaya gini?"

Dipta mengernyitkan keningnya ketika mendengar pertanyaan dari Rachel.

"Demi kamu aku sudah sejauh ini melangkah. Bahkan seumur hidup aku, baru sekali aku melakukan kekerasan ke perempuan..."

Belum selesai Dipta berbicara, Rachel langsung memotongnya. "Jangan bilang kamu melakukannya untuk memperjuangkan hubungan kita!"

"Memang kenyataannya begitu. Aku bertengkar hebat dengan Gadis karena Gadis tidak mau menberikan dokumen yang akan aku gunakan untuk mengurus gugatan cerai."

"Apa enggak bisa bicara baik-baik? Aku yakin enggak perlu pakai kekerasan seperti itu, Dip. Sekarang aku justru mencemaskan keadaan Gadis. Kalo dia kenapa-kenapa gimana?"

Perkataan Rachel membuat emosi Pradipta yang baru saja surut menjadi pasang kembali. Tidak bisakah perempuan yang ia cintai ini mengerti keadaannya? Bukankah apa yang ia lakukan ini juga atas desakan Rachel untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Gadis? Karena Rachel tidak mau dianggap sebagai perusak rumah tangga orang?

"Kamu yang minta aku melakukan semua ini."

"Aku enggak pernah minta kamu buat melakukan tindakan kekerasan fisik ke Gadis."

"Terkadang situasi enggak bisa kita prediksi."

"Kalo kamu enggak maksa merebut dokumen itu dari Gadis, semua ini tidak akan terjadi. Biarkan Gadis yang gugat cerai kamu duluan, Dip. Apa bedanya? Pada ujungnya juga kalian akan bercerai."

"Kamu memang gampang bicara seperti itu, tapi kalo dokumen itu ada di aku, aku bisa melihat situasi keluarga dulu sebelum menggugat cerai Gadis ke pengadilan agama. Kamu enggak lupa 'kan kalo Mamaku baru sakit? Papaku punya penyakit jantung?"

Rachel memilih mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah depan. Ia lipat kedua tangannya di depan dada.

"Enggak, aku enggak lupa. Dan aku salut sama Gadis. Dia bisa merawat dua lansia yang notabennya adalah ibu pasangannya. Mengingat bagaimana sifat Mama kamu, aku yakin itu bukan pekerjaan yang mudah untuk dijalani. Karena itu rasa bersalahku ke Gadis semakin besar. Tapi kalo aku mau mundur, aku sadar kalo aku enggak bisa hidup tanpa kamu. Sejujurnya aku benci diri aku yang seperti ini. Seharusnya aku lebih realistis."

Setelah mengatakan itu, Rachel memilih keluar dari mobil meninggalkan Pradipta, lalu ia membuka pintu penumpang belakang mobil untuk mengambil koper miliknya. Sengaja ia tidak menurunkan koper milik Pradipta. Rasa-rasanya ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semua ini seorang diri tanpa ada yang mengganggunya. Ia bahkan sudah mematikan handphonenya sejak beberapa saat yang lalu.

Pradipta yang menyadari jika Rachel marah kepadanya segera mengikuti untuk turun. Melihat Rachel yang mulai menarik kopernya untuk menuju ke arah pintu masuk hotel, Pradipta mencekal tangan perempuan itu.

"Tunggu, Hel. Pembicaraan kita belum selesai."

Mendengar perkataan ini dari Pradipta, Rachel memilih berhenti berjalan dan menoleh ke arah sumber suara.

"Pembicaraan apalagi? Melihat apa yang terjadi tadi, aku harus memikirkan semuanya lagi."

"Kamu enggak perlu banyak berpikir. Ini masalahku, aku yang akan selesaikan."

"Iya, benar ini masalah kamu, tapi dengan apa yang kamu lakukan ke Gadis, aku harus berpikir ribuan kali lagi untuk memilih kamu sebagai pendamping hidupku kelak."

"What?"

"Iya, kamu enggak salah dengar. Aku akan memikirkan semuanya lagi mulai saat ini. Apakah kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup atau tidak?"

"Kamu apa-apaan sih, Hel?!"

"Kalo perlakukan kamu ke Gadis yang notabennya istri kamu sendiri saja kamu bisa melakukan kekerasan seperti itu, enggak menutup kemungkinan kamu akan melakukan hal yang sama ke aku kalo kita sedang bertengkar nantinya."

Setelah mengatakan itu, Rachel segera menundukkan pandangannya dan melihat cekalan tangan Pradipta yang masih melingkari tangan kanannya.

"Tolong kamu lepasin tangan kamu. Aku mau cek-in."

Dengan terpaksa Pradipta melepaskan cekalan tangannya pada tangan Rachel. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya untuk menahan Rachel agar tetap ada di sisinya. Ia tahu bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah masalah sepele yang bisa ia abaikan begitu saja.

Kini Pradipta memilih segera berjalan kembali ke arah mobilnya. Ia harus kembali ke rumah karena terakhir kali ia meninggalkan Gadis, perempuan itu dalam keadaan tidak sadarkan diri.

***

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang