48. Babak belur

4.2K 357 16
                                    

Waktu sudah menunjukkan tengah hari kala Gadis sampai di Bontang. Ia memasuki lobby apartemen dan langsung menghubungi Anwar. Hanya lima menit menunggu hingga Anwar datang dan menyerahkan kunci apartemen kepada Gadis.

"Pak Anwar, apakah bapak punya kontak rent car di sini?"

"Kenapa harus sewa, Bu? Mobil punya pak Adit saja nganggur di besemen."

Gadis meringis mendengar penjelasan Anwar ini. Jangan sampai Anwar salah sangka tentang hubungannya dengan Aditya.

"Iya, tapi saya tidak enak kalo harus pinjam sama dia. Soalnya kita belum lama kenal. Baru ketemu juga satu kali aja."

"Oh begitu. Maaf-maaf, Bu. Saya kira ibu justru calon istri pak Adit. Soalnya pak Adit itu enggak pernah meminjamkan barang-barang pribadinya kalo tidak terlalu dekat sama orang. Apalagi meminjamkan apartemen begini."

Alamak....
Kenapa jadi begini? Jangan sampai pikiran Anwar justru melantur ke mana-mana. Ia harus meluruskannya saat ini sebelum Anwar bisa bergosip yang tidak-tidak tentang dirinya dan Aditya. Lagipula sosok seperti Aditya Birawa Aji tidak mungkin masih available. Perempuan pasti mengantri untuk menjadi pasangannya, sedangkan sejak dulu Gadis paling menghindari laki-laki yang serba terlalu. Entah terlalu tampan, terlalu kaya apalagi terlalu berkuasa. Sosok Pradipta membuatnya sadar bahwa yang ia butuhkan adalah orang yang biasa saja namun bisa melengkapi dirinya meskipun mungkin latar belakang keluarganya bukan orang terpandang.

"Saya sudah punya suami, Pak. Dan saya datang ke Bontang ini untuk meminta hasil visum sebagai salah satu bukti yang akan saya bawa ke pengadilan agama."

Anwar menganggukkan kepalanya. Beberapa saat Gadis menunggu Anwar yang tampak berpikir hingga akhirnya Anwar mengambil handphonenya dan menelepon seseorang. Saat mendengar Anwar berbicara dengan orang yang ada di telepon itu, Gadis langsung tersenyum. Ternyata Anwar mencarikan mobil untuk dirinya. Setelah Anwar selesai bertelepon, akhirnya Gadis bertanya kepada Anwar. 

"Gimana, Pak? Apakah teman bapak bisa membantu saya?"

"Sepertinya bisa, Bu tetapi adanya mobil manual bukan yang matic. Apa ibu bisa mengendarainya?"

"Bisa, Pak. Terimakasih, Pak atas bantuan Bapak. Nanti tolong kirimkan nomer rekening teman bapak agar saya bisa membayar biaya sewanya."

"Dua jam lagi teman saya sampai di sini mengantarkan mobil. Pembayarannya langsung saja saat serah terima kunci."

"Baik, Pak. Kalo begitu saya naik dulu."

Anwar menganggukkan kepalanya. Kini ia memilih pergi lebih dulu meninggalkan Gadis. Kali ini dirinya harus meralat laporan yang telah ia sampaikan ke orangtua Aditya. Ternyata perempuan yang meminjam apartemen itu bukan sosok pacar anak boss-nya.

***

Jam istirahat siang kali ini Alena memilih duduk satu meja dengan Gavriel di sebuah food court. Sengaja Alena menatap Gavriel dengan tatapan ingin tahunya sejak tadi tapi Gavriel yang ditatap seperti itu memilih mengabaikannya.

"Dari tadi sudah gue kasih tatapan maut kok lo tetap bergeming sih, Gav?"

"Karena gue tahu apa yang lo mau."

"Memangnya gue mau apa?"

"Mau kepo urusan gue sama Gadis 'kan?"

Mendengar perkataan Gavriel, Alena menjentikkan jarinya di depan wajah atasannya itu. "Tepat sekali. Pantas lo jadi pimpinan gue. Soalnya lo peka pakai banget."

Gavriel hanya memberikan senyum yang sangat terlihat terpaksa. Melihat kelakuan Gavriel yang tetap tidak mau berbagi cerita, akhirnya Alena semakin gencar memancing atasannya ini.

From Bully to Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang