Permohonan Kecil

394 34 10
                                    


***



Pesta Rehan Mehta malam itu belum berakhir. Meera menghabiskan waktunya hanya mengekor pada Pia dan sekali-kali mengobrol dengan para tamu yang menyapa. Tapi dengan bantuan Pia, tentu saja. Meera terlalu kaku untuk memulai obrolan dengan orang yang belum ia kenal.

Jika Meera terus bersama Pia, lalu kemana si pemilik acara yang mengatakan akan terus bersama Meera?

Nah.. Sudah jelas Rehan berada di tengah ballroom yang membuatnya tetap menjadi pusat pesta. Berdansa dengan alunan musik klasik, bersama satu wanita ke wanita lain untuk menghargai dan berterima kasih akan kedatangan mereka. Pasangan dansa Rehan bukanlah orang sembarangan. Ada yang merupakan investor perusahan mereka, putri dari seorang CEO perusahaan besar, bahkan istri pejabat yang merupakan kerabat dekat Rehan sendiri.

Rehan Mehta ternyata memang bukan orang sembarangan. Pantas saja pestanya begitu megah.


Meera sudah berkenalan dengan beberapa orang itu dengan bantuan Rehan sebelumnya. Dia pun tentu saja sudah diajak Rehan untuk berdansa, tapi Meera langsung menolak. Bukan apa-apa, ia merasa tubuhnya terlalu kaku untuk kegiatan yang memerlukan kelenturan tubuh tersebut.


Sambil menyesap cocktail, Meera akhirnya bisa bernapas lega. Memulai obrolan santai dengan Pia tanpa orang-orang yang bertanya akan kehadiran ayahnya.

"Kau yakin akan terus marah pada Ibrahim hanya karena hal di masa lalu yang dia lakukan sebelum bertemu denganmu?" tanya Meera pada sang sahabat. Pia yang tadinya aktif dalam percakapan kini bergeming. Tatapan tajamnya tertuju pada bahu lebar Ibrahim yang sedang mengambil makanan di meja saji. "Oh come on, Pia.. Rasa cemburumu itu tak beralasan. Memangnya siapa dirimu bagi Ibrahim? Kekasih?"


Tatapan tajam Pia langsung beralih pada Meera. "What are you trying to say?"


Meera berdecak, tak takut dengan tatapan gadis itu. "A reality," kembali menyesap minumannya. "Memangnya apa nama hubungan kalian sekarang? Ada hakmu untuk marah dan cemburu seperti itu?"


Pia menghembuskan napas, mengalihkan perhatian penuh pada sang sahabat. Biasanya dia yang menceramahi Meera, tapi terkadang Meera lah yang akan memukul telak dirinya. "I don't know!" sahut Pia kesal. "Aku tak tau apa hubunganku dengan Ibrahim, karena itulah aku kesal, Meera! Bukan hanya karena masa lalu Ibrahim yang ikut...... apa yang dia katakan tadi? A wild bachelor party or something, tapi aku juga kesal karena aku bisa begitu cemburu mendengar ceritanya!"


Meera tersenyum lebar, berbinar menatap Pia. "Kau begitu mencintai Ibrahim, haa?"


"Haan.." jawab Pia tanpa berpikir, tapi seketika tersadar akan kata yang ia ucapkan tadi. "N-no! I-I mean.. Cinta? Jangan berpikir sejauh itu, Meera. Aku dan Ibrahim baru saja saling mengenal. We always flirt with each other, of course.. But Love? Pyaar-"


"Love, Pyaar, Ishq, Mohabbat, Cinta... Yep!" Meera memotongnya, perkataan Pia membuat Meera tertawa. Tapi tawanya langsung mereda seperti teringat sesuatu, "Percayalah Pia, cinta datang tak mengenal waktu. Dia bisa datang dengan sangat cepat..." Meera mengalihkan netranya ke tengah ballroom, dimana orang-orang sedang berdansa. "Atau bahkan datang pada saat yang sudah terlambat sampai kau tak bisa mengungkapkannya," ucapan Meera terdengar seperti bisikan. Pia dapat merasakan kalau mata dan pikiran Meera sedang tak selaras.

INCOMPLETED LOVE [✓]Where stories live. Discover now