Us

158 14 8
                                    

"Aku harus membunuhnya," gadis itu terus bergumam, begitu rendah dengan tatapan tajam yang fokus menatap lurus ke arah buku di depannya. Kertas pada lembaran yang dicoret-coret itu bahkan nampak tidak jelas apa, seolah si gadis hanya memutar-mutar acak pena yang ada di dalam genggaman.

"Dia harus mati," katanya lagi, kemudian terkekeh.

Gelap sudah menelan bagian bumi yang dia pijaki itu sejak beberapa jam yang lalu, matahari seolah pergi tanpa berpamitan sebab tadi siang hujan turun begitu lebat. Siswa-siswi yang ada di dalam ruangan itu masih menunduk, beberapa dari mereka menunduk karena fokus mengerjakan kertas yang diberikan untuk latihan menghadapi ujian beberapa bulan lagi, dan beberapa darinya menunduk untuk fokus pada layar ponsel, pun beberapa dari mereka menunduk guna memejamkan matanya.

Sementara gadis yang tadi masih bergumam, kini berdiri dari tempatnya. Kursi yang tadi berdiri kokoh, kini terjatuh sebab di dorong oleh tubuhnya yang mendadak berdiri dengan mata semerah darah. Orang-orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh serempak, menatap dengan kening berkerut, pun riuh rendah teriakan berhasil keluar ketika melihat sebuah pisau karter ada dalam genggaman.

Beberapa dari mereka yang duduk di dekat si gadis, langsung berlari terbirit-birit. Sementara yang lain membeku di tempat, dengan manik mata yang fokus menatap pergerakan si gadis. Pun, ruangan yang tadinya remang oleh lampu di atas meja masing-masing sudah kembali terang ketika salah satu dari mereka menghidupkan lampu utama sebelum akhirnya membuka pintu, lari menjauhi si gadis yang nampak setengah gila.

"Hentikan dia!" Teriak salah satu dari mereka, pemuda itu nampak frustasi dengan kaca mata yang merangkum mata indahnya.

"Kau harus mati," gumamnya lagi, kini mata yang merah itu menatap lekat pada si pemuda pemberani itu. "KAU HARUS MATI!" Teriaknya kemudian, sukses membuat orang-orang berteriak ketakutan dengan teror absolut yang mereka hadapi barusan.

"Apa yang kalian lakukan!? Bantu aku menghentikan gadis gila ini!" Teriaknya lagi, nampak begitu frustasi dengan bibir yang mendadak memutih pucat.

Si gadis kini mendekat, langkahnya begitu lebar dengan pisau yang masih setia di genggam erat oleh tangannya. Pemuda itu terhuyung kebelakang, kakinya seolah tidak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri sementara ruangan itu benar-benar sudah ditinggalkan. Teman-temannya sudah berlari, terbirit-birit sembari menjerit-jerit.

"Apa yang kau lakukan, huh?! Turunkan pisau itu!" Titah si pemuda itu, lagi.

Tapi si gadis seperti mendadak jadi tuli, tatapannya menghunus tajam dengan bibir melengkungkan senyum. Memiringkan kepalanya sejenak, si gadis kemudian menekuk lututnya. Pisau karter yang tadi di genggaman, kini mulai terarah menuju wajahnya. Dari mata si pemuda, dia bisa melihat kilauan pisau itu yang memancar di bawa terang lampu ruangan.

"Kau tampan, mau mati bersama?" Tanya gadis itu, kemudian terkekeh.

"Sinting! Singkirkan pisau itu dari wajahku, Sialan!"

Mendengar pemuda itu mengumpat, si gadis mendadak memasang raut wajah sedih. Bibirnya yang tadi melengkung ke atas, kini berpindah ke bawah. Pisau yang tadi dalam genggaman, kembali terangkat seperti sudah siap menghujam apapun yang ada di depannya. Entah kenapa, semuanya terasa terlalu nyata jika menganggap kejadian ini sebagai mimpi. Pemuda itu menelan ludahnya, kemudian tanpa aba-aba langsung mencengkram tangan si gadis yang tanpa dia sadari membuat tangan gadis itu mengarahkan pisau tadi ke arah lehernya.

Dalam hitungan detik, pisau yang tadi sempat mengarah ke arahnya, kini sudah tertanam begitu dalam di leher si gadis gila. Pun setelahnya, suara hentakan sepatu menggema memasuki ruangan itu. Hingga menit berganti, tiba-tiba tubuh si gadis yang tadi terbaring dengan darah menyembur dari leher mendadak bangkit. Matanya menitikkan darah, begitu deras seperti pancuran cairan berwarna merah yang menyeramkan. Tawa itu menggema, begitu memekakkan sampai-sampai si pemuda menutup telinganya yang mendadak sakit, dan berdenging kencang.

"KAU HARUS MATI!"

Bayu terbangun dari tidurnya, mendadak mendapati dirinya yang tersengal-sengal dengan dada yang terasa begitu sakit. Sial, kenapa bisa dia mendapatkan mimpi seburuk itu? Matanya menerawang ke arah ruang kelas yang masih di isi oleh teman-temannya, bahkan hening yang tadi dia dapati di mimpi tidak ada. Orang-orang nampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing, bahkan tidak menyadari bahwa Bayu baru saja terbangun dengan sentakan yang membuatnya terkekeh seperti orang sinting.

Tidak, Raina sudah mati. Dan dia tidak akan mungkin datang untuk membunuhku, semua itu hanya ada di film-film horor saja.

Kedua mata yang dirangkum oleh kaca mata itu, kini menatap pada salah satu bangku kosong yang berada tepat di antara dua bangku di depannya. Sebuah bingkai foto nampak memperlihatkan sesosok gadis manis dengan rambut sebahu, tengah tersenyum manis, pun bunga-bunga krisan putih menghiasi mejanya. Bangku itu adalah bangku milik Raina, si gadis yang menyandang status sebagai kekasihnya selama hampir satu tahun belakangan. Dan Raina, gadis malang itu telah merenggang nyawa. Di temukan di sungai. Bunuh diri, itu yang orang-orang ketahui. Sebab kejadian sebenarnya, tidaklah seperti itu.

Ayo mati bersama, Rai. Ayo bahagia di surga, kita--kau, aku, dan anak kita.

-Fin-

The Whalien ClubWhere stories live. Discover now