37 | para bocil

37.2K 6.1K 3.1K
                                    

"Papi, why Mami always leave?"

Johnny baru selesai mengeringkan rambutnya Chester setelah mereka berenang ketika tau-tau, anak laki-lakinya melontarkan tanya seperti itu.

"Mami has to work." Johnny berujar hati-hati.

"Mau Mami." Chester berkata, mengulang apa yang diujarkannya pagi ini, sejenak sebelum Gia pergi ke bandara.

"Kan ada Papi di sini."

Chester menggeleng, malah memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya mengerut, khas wajah anak-anak yang hendak menangis. Johnny menghela napas panjang, kemudian menatap Chester lekat-lekat.

"Let Papi hug you, ya?"

Chester nggak menjawab, namun juga nggak memberi penolakan saat Johnny meraihnya dalam dekapan. Terus terang saja, ada yang bergetar dalam dada Johnny ketika Chester balik memeluk bahunya dengan kedua tangannya yang kecil. Anak itu masih terlalu muda untuk memahami, tetapi mendengar bertanya kenapa ibunya selalu pergi membuat Johnny terenyuh.

Jika semuanya terserah Johnny, dia ingin Gia menghabiskan lebih banyak waktu bareng Chester.

Bukankah dulu, mereka berdua yang sama-sama menginginkan Chester ada?

Chester bukan sosok yang datang tanpa rencana. Kehadirannya telah ditunggu, dinantikan. Meski Johnny paham bahwa menjadi ibu bukan sesuatu yang Gia inginkan membatasi karirnya, Johnny mulai berpikir kalau Gia lebih memprioritaskan pekerjaannya daripada anaknya.

Anak mereka nggak akan tetap kecil selamanya.

Tak akan seterusnya Chester cukup mungil buat berada dalam gendongan Johnny. Akan ada masanya anak itu mandiri, bisa melakukan segalanya sendiri dan nggak terlalu membutuhkan kehadiran orang tuanya lagi. Dan uang sebanyak apa pun, karir secemerlang apa pun, menurut Johnny, nggak akan sepadan bila dibandingkan dengan momen-momen dan fase tumbuh-kembang Chester yang Gia lewatkan.

Tapi jika dia menyuarakan keinginannya, apakah dia akan dipandang egois?

Akankah itu berarti, dia bukan pasangan yang supportive?

"Papi,"

Suara Chester membuat lamunan Johnny terbuyarkan. Cepat, lelaki itu merunduk untuk menatap Chester yang sekarang sudah melepaskan pelukannya. Anak itu mengucek sebelah matanya yang sempat berkaca-kaca, namun untungnya, dia nggak menangis.

"Yes, baby?"

"I'm hungry."

"Let's go get you food then, yeah?"

Chester mengangguk.

"Mau jalan atau Papi gendong?"

"Jalan."

"Nggak mau digendong aja?"

Chester menggeleng. "Aku dah gede."

"Promise you'll be careful?"

Chester mengangguk.

"Give me your pinky." Johnny berkata lagi, kali ini sembari menunjukkan jari kelingkingnya. Chester balik menautkan jari kelingkingnya yang jauh lebih mungil pada jemari Johnny. "It's a pinky promise, right?"

"Yes, Papi."

Johnny tertawa kecil, kemudian berdiri dan membiarkan Chester berjalan melintasi jalan setapak halaman belakang menuju rumah mereka lebih dulu. Anak itu hanya mengenakan kimono handuk karena belum betul-betul membasuh tubuhnya usai berenang bareng Jo. Langkahnya cepat, tapi nggak stabil, seperti kebanyakan bocah seusianya. Sehingga nggak heran, ketika melewati permukaan bebatuan jalan setapak yang agak berlumut, Chester terpeleset, lantas jatuh dengan lutut mencium permukaan keras bebatuan.

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now