55 | wah, kampret

25K 5K 1.5K
                                    

Nggak ada yang bicara setelah Jella mematikan telepon.

Mereka semua saling pandang, sementara Jella menumpukan kepalanya pada kedua telapak tangan. Perempuan itu menghela napas panjang beberapa kali, mencoba meredakan emosi. Sayangnya, jeda tenang tersebut tak berlangsung lama, sebab ponsel Jella telah kembali meraung.

Ibu mertuanya kembali meneleponnya.

"Nggak usah diangkat." Rei memberanikan diri bicara.

Jella hanya tersenyum miring, lalu bangkit dari tempatnya duduk dan bergerak menuju balkon suite hotel yang mereka tempati. Mungkin niatnya biar dia bisa dapat privasi lebih—walau sebenarnya nggak banyak membantu juga, karena semua yang berada di dalam kamar bisa mendengar percakapan Jella dan ibu mertuanya yang kembali berlanjut.

"Mama belum selesai bicara tadi, dan kamu mematikan teleponnya sepihak?!"

Terdengar Jella menjawab dengan nada lelah. "Yaudah, ini udah aku jawab lagi. Sekarang Mama mau apa?"

"Anakmu sakit—"

"Nanti aku bakal telepon Tigra. Habis ini. Kalau emang Tigra mau aku pulang, aku bakal pulang malam ini juga."

"Tigra itu terlalu pengertian sama kamu! Makanya dia nggak banyak menentang dan selalu nurutin mau kamu! Tapi Mama nggak bisa biarin kamu seenaknya begitu! Mama nggak mau lihat anak Mama terus mengalah, sementara kamu kayak nggak punya komitmen mengurus keluarga dengan baik. Anakmu sakit, tapi kamu malah sibuk liburan! Ibu dan istri macam apa yang begitu?"

"Harus aku bilang berapa kali, kalau aku jalan begini tuh udah direncanakan sebelumnya, sebelum Mama minta aku nemenin Mama—"

"Mama nggak lagi ngomongin soal itu! Mama bicara soal komitmen kamu yang menurut Mama nggak ada! Komitmen nggak ada, effort pun nol besar! Kamu kira, yang kayak gitu bakal Mama relakan jadi partner berumah tangganya anak Mama?!"

Jella merasakan matanya kian panas. Pandangannya kini mulai memburam, kabur oleh air mata. "Tigra ngizinin aku liburan, Ma."

"Setelah kamu paksa dia. Mama sudah khatam, akal-akalan kamu tuh gimana."

"Aku nggak pernah paksa dia!"

"Tigra itu anak Mama! Mama tahu dia orangnya gimana—"

"Tigra memang anak Mama, tapi Tigra juga suami aku! Aku bukan perempuan yang nggak paham posisi dan nggak sadar hak-kewajibanku dalam rumah tangga!"

"Tuh, kamu selalu ngeyel dan heboh duluan setiap kali Mama bilangin! Mama heran banget, dosa apa ya Mama di masa lalu, sampai-sampai bisa punya menantu kayak kamu—"

'TERUS MAU MAMA APA?!"

Jella memekik, melepaskan emosinya yang telah benar-benar nggak bisa dikontrol lagi. Saking kerasnya, teriakan perempuan itu bukan hanya berhasil membuat para ciwi-ciwi yang berada dalam kamar terdiam, tapi juga tak gagal membungkam mamanya Tigra.

"AKU UDAH COBA LAKUIN SEMUANYA! UDAH COBA UNTUK COBA DEKET SAMA MAMA, TAPI MAMA SELALU DORONG AKU MENJAUH! It's fine, aku nggak pernah memaksa Mama terima aku, tapi tolong, bisa nggak hargai aku sebagai menantu?! Hargai aku sebagai istrinya anak Mama! Tigra juga bukan anak-anak lagi! Dia udah dewasa, udah bisa ambil keputusan, dia tahu mana yang baik dan nggak buatnya, nggak mesti selalu ngikutin apa maunya Mama!"

"..."

"Habis ini, aku mau telepon Tigra! Mama nggak perlu telepon-telepon aku lagi kalau niatnya cuma ngajak berantem!!"

Jella menyudahi telepon untuk kedua kalinya. Bukan hanya itu, dia juga memblokir nomor ponsel ibu mertuanya, menutup akses bagi perempuan tersebut untuk menghubunginya. Emosi yang memuncak membuat air matanya meleleh di pipi tanpa bisa ditahan.

A Bunch of Daddy ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang