dari tigra | moments

23.7K 4.3K 1.1K
                                    

Waktu gue ngabarin teman-teman gue kalau gue mau nikah sama Jella, sebagian besar respon mereka bisa digambarkan cuma dengan satu kata; lah?

Padahal sih yah, nggak se-mengherankan itu juga. Kita ada di jaman di mana cowok nikah sama cowok saja sudah dianggap wajar—nggak di Indonesia, gue tau, tapi kan ada orang-orang di belahan dunia yang lain yang menganggap itu sah-sah saja—nah, apalagi gue sama Jella yang jelas-jelas laki-laki dan perempuan?

Cuma di sisi lain, gue cukup paham kenapa mereka, bahkan sampai teman-teman sekosannya Jella termasuk Rei, bisa kaget banget.

Di jaman kuliah, kalau sama anak-anak lantai dua kosan Sadewo, gue cuma sering ngobrol sama Harsya. Kalau Rei sih nggak perlu ditanya lagi ya, kita mah sudah lebih dari sekedar ngobrol.

Gue selalu merasa kalau teman-teman selantai kosannya Rei itu kombinasi orang-orang aneh yang nggak gue kira, bisa bersahabat sama orang kayak Rei. Contohnya saja kayak Rossa yang princess-like banget, bukan hanya dari tampang, tapi juga dari dandanan serta kelakuan—bagian dia setia ngejar Milan juga macam princess, yang ngotot karena percaya kalau Milan itu adalah cinta sejatinya.

Yumna... wah, kalau lihat kelakuannya yang benar-benar kayak preman jelata, sulit dipercaya kalau dia punya darah bangsawan. Terus orangnya ngocol banget, pula. Kalau ngomong, suka nggak disaring.

Sedangkan Jella...

Di awal kita pertama kali ketemu, kita tuh canggung banget.

Namanya sama-sama masih maba ya, saat itu Rei sama anak-anak kosan selantai dua (minus Sakura sama Jinny, karena mereka setingkat di bawah kita, jadi belum kuliah apalagi nge-kos di Sadewo) main ke kosan gue.

Dulu, Alfa masih nge-kos juga di kosan gue, dan nih orang memang social butterfly abis. Teman-temannya kesebar di mana-mana, jadi meski sudah masuk tingkat tiga, Alfa masih eksis banget sampai kalangan maba. Terus, Dhaka juga temannya Rei dari kecil, makaya otomatis pada saling kenal gitu deh.

Mulanya, tau Jella cuma sebatas nama doang. Anaknya nggak secerewet Yumna, nggak selembut Rossa atau sekaku Rei. Kayak in-between saja. Dia lebih banyak diam kalau sama gue, padahal sama anak-anak cowok lain di kosan tuh, ribut banget. Apalagi kalau sama Milan atau Yuta, gue nggak heran kalau mereka bertiga bisa saling ngata-ngatain sampai sama-sama emosi terus saling menyerang dan bergulingan di lantai.

Sampai suatu ketika, Johnny main ke kosan gue bertepatan dengan Rei sama Jella balik sehabis Rei minta tolong di-install-in aplikasi AutoCAD ke Dhaka, terus mereka sempat berpapasan di depan kosan gue.

(Johnny ini anak Mesin yang pernah jadi senior pendamping kelompok gue waktu ospek fakultas, terus ternyata kita lumayan cocok temenan, walau ya tentu, gue nggak hangout sama dia sesering kayak gue hangout sama Dhaka atau sama Rei).

"Lo kenal dia?"

"Siapa?"

"Cewek yang tadi papasan sama gue di depan kosan."

"Regina atau Jella?"

"Jella." Johnny mengangkat bahu. "Kalau Regina, gue kan emang udah tau kalau lo temenan sama dia."

"Kenal, soalnya dia se-kos sama Rei."

"Oh..."

"Kenapa gitu nanya-nanya?"

"Nggak apa-apa. Kayaknya si Jella-Jella itu cewek barunya Jenar, deh."

Gue sempat ternganga sebentar.

"Jangan bilang siapa-siapa! Lagian tau sendiri, ngomongin Jenar mah nggak akan ada habisnya."

Tentu, gue juga tau siapa Jenar yang dimaksud Johnny. Sama-sama anak Mesin, seangkatan sama Johnny. Dia terkenal banget bukan cuma di fakultas kita, tapi juga sampai ke fakultas lain. Wajar sih, ganteng gitu. And when I said he's handsome, dia tuh bukan tipikal ganteng cowok-cowok effortless atau ganteng yang macam typical ganteng aesthetic cowok Tumblr. Emang anaknya ganteng, kayak pangeran.

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now