64 | reuni

27.2K 5.1K 1K
                                    

"Saya masih belum bisa mastiin, Santi. Anak saya masih di rumah sakit dan prioritas utama saya adalah kesembuhan dia dulu. Pending yang masih memungkinkan untuk di-pending dan buat yang nggak memungkinkan, cancel aja. Soal media, cukup bilang anak saya kecelakaan dan sekarang masih menjalani perawatan di rumah sakit. No need to tell more details. Tentang saya dan suami saya, well, kamu nggak perlu mengatakan apa-apa. I don't owe anyone any explanation. Urusan keluarga saya bukan konsumsi publik. Cukup bisa dimengerti? Oke. Makasih banyak ya."

Usai berbicara dengan asistennya, Gia menyudahi obrolan telepon mereka. Lalu, dia menghela napas. Situasi ini makin lama makin terasa melelahkan. Tapi bisa apa sekarang dia selain menjalani? Tumpukan pekerjaan dan project yang sebelumnya dia kejar mati-matian, yang ingin dia selesaikan dengan gemilang agar bisa menjadi bagian dari track record pencapaiannya jadi terasa nggak berarti lagi.

Dia berpikir lama sekali, dan pada akhirnya, menetapkan keputusannya; dia akan fokus pada kesembuhan Chester dan mungkin... berusaha memperbaiki hubungannya dengan Johnny.

Benar apa yang dibilang orang-orang sekitarnya. Jika mereka berpisah sekarang, di luar seluruh ego dan emosi yang terakumulasi setelah sekian lama dibiarkan mengendap, segalanya akan sangat nggak adil buat Chester.

"... Mami?"

Gia tersentak, menoleh ke arah Chester yang ternyata sekarang sedang memandang ke arahnya. Mata bocah laki-laki itu bening, sarat dengan sinar polos yang seringkali bikin Gia ingin menangis. Kalau saja mereka bisa bertukar tempat, Gia nggak akan ragu melakukannya.

"... ya, Chester?"

"Mami mau pergi ya?"

Gia menggeleng. "Nggak kok. Kenapa emangnya?"

"Kalau Mami habis ditelepon, biasanya Mami pergi."

"..."

"Nggak apa-apa kalau mau pergi."

"..."

"Kan ada Papi."

Rasanya campur-aduk. Kata-kata itu terdengar polos, tapi menusuk. Tetapi Gia sadar, bukan Chester yang salah. Apalagi Johnny. Dia yang salah karena mengabaikan rengekan anaknya tiap kali dia mau meninggalkan rumah untuk urusan pekerjaan. Awalnya, dia berharap Chester berhenti menangis setiap kali dia pergi. Tapi kini, dia menginginkan kebalikannya.

Manusia memang makhluk yang seringkali lalai dalam bersyukur untuk apa yang telah berada dalam genggaman.

"Nggak kok. Mami mau stay di sini. Temenin Chester."

"Tapi Mami sedih nggak?"

"..."

"Kalau nggak pergi bikin Mami sedih, nggak apa-apa, Mami pergi aja. Aku nggak mau Mami sedih."

"No." Gia menggeleng, menarik senyum walau matanya terasa panas. "Mami mau di sini. Mami bakal temenin Chester sampai sembuh. Mami janji."

"Really?"

"Yes, Chester. Mami akan selalu ada untuk kamu, temenin kamu sampai kamu pulang dari sini, sampai kamu bisa main lagi kayak sebelumnya."

"Aku bisa main lagi?"

"Mm-hm."

"Tapi sekarang aku kok nggak bisa jalan?"

"Soalnya kamu masih sakit, belum benar-benar sembuh."

"Terus kapan aku sembuh?"

Lidah Gia kelu, kehilangan kata-kata untuk diberikan sebagai jawaban. Dia membuang napas, memalingkan muka untuk menyembunyikan setetes air mata yang jatuh ke pipinya tanpa bisa dia tahan. Sejenak setelah itu, pintu kamar perawatan Chester terbuka. Johnny muncul dengan kantung plastik di tangan.

A Bunch of Daddy ✅Where stories live. Discover now