47 | ternyata eh ternyata

27.7K 5.9K 2.8K
                                    

"Cincin apaan?"

Rei mengerutkan dahi waktu Jenar malah balik bertanya ke dia. "Cincin kawin. Kamu lagi nggak pake cincin kawin kamu sekarang."

Wuje melongo, menerka-nerka akankah terjadi keributan betulan antara kedua orang tuanya. Padahal niatnya tuh cuma ngadu saja, soalnya dia sebal sama Jenar gara-gara nggak dibeliin Kinderjoy. Tapi kalau mereka berantem beneran...

"Whatdamn—" Jenar menatap pada jari manisnya yang sekarang kosong. "Cincin aku mana?!"

"Aku nggak tau. Makanya aku tanya kamu."

"..."

"Mungkin kamu lepas terus lupa naro di mana gitu?"

"..."

"Atau sengaja dilepas?"

Jenar panik seketika. "NGGAK GITU, REGINA!!"

"Kalau nggak gitu, terus gimana, Papa?" Wuje nyeletuk.

"Je, kamu diam dulu." Jenar mendelik.

"Terus sekarang cincinnya mana?"

"Bentar—nanti aku cari—"

"Nggak usah repot-repot juga nggak apa-apa sih." Rei beralih memandang Wuje yang duduk di sebelahnya. "Udah kenyang kan? Nggak mau makan apa-apa lagi?"

"Nggak, Ma."

"Yaudah, yuk, kita pulang."

Wuje manggut-manggut, sempat juga melirik ke Jenar yang mukanya sudah nggak enak sebelum dia ikut turun dari kursi. Rei menunggu Wuje menyandang tas ayam kuning kesayangannya di bahu sebelum meraih satu tangan Wuje buat dia gandeng. Mereka jalan keluar duluan, sementara Jenar yang telah berkeringat dingin mengekori dengan jas tersampir di salah satu lengan.

Sambil melangkah, Wuje sesekali melihat ke belakang, pada bapaknya.

Jenar pun sempat mouthing tanpa suara. "Wuje, cincin Papa mana?"

Wuje cuma angkat bahu sambil menggelengkan kepala.

Oke, kalau gini ceritanya, sepertinya Rei bakal marah.

Saat mereka tiba lagi di parkiran kantornya Jenar, Rei nggak merasa perlu masuk lagi ke lobi. Mereka langsung saja menghampiri Camry hitamnya yang terparkir rapi. Jenar masih mengikuti, dengan airmuka yang menunjukkan perpaduan beragam emosi.

"Je, pamit sama Papa kamu."

"Papa, aku pulang ya?"

"Iya. Hati-hati ya."

Wuje manggut-manggut, tapi terus saja menengadah memandang Jenar.

"Apa?" Jenar mengangkat alis.

"Cium dulu."

"Tumben."

"Papa mau aku cium apa nggak? Kalau nggak mau ya nggak apa-apa."

Jenar berdecak, tapi akhirnya berjongkok di depan Wuje selama sesaat, mensejajarkan tingginya dengan si bocil biar Wuje bisa memeluk lehernya dan mencium pipinya.

"Papa semangat kerjanya ya. Hehe."

"..."

"Yaudah yuk, pulang!" Rei membukakan pintu belakang mobil agar Wuje dapat masuk.

"Mama nggak pamitan sama Papa?" Wuje jahil saja menukas.

"Nggak."

"Waduh, Pa..."

Jenar merengut, tapi akhirnya menyuruh Wuje segera naik. Setelah memastikan anaknya sudah duduk dengan nyaman di kursi penumpang bagian belakang, baru deh Jenar menutup pintu. Rei sudah mau melangkah ke sisi lain mobil buat duduk di balik roda kemudi ketika Jenar meraih tangannya.

A Bunch of Daddy ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang