62 | putri duyung

25.6K 4.9K 1.4K
                                    

"Wuje kok nggak kelihatan ya?"

Ketika mereka tiba di halaman yang kerumunannya mulai menyurut dan Rei nggak bisa menemukan tas punggung kuning Wuje dalam pandangan, dia langsung merasa cemas. Tiap bubaran gereja, anak itu memang selalu jadi yang paling semangat masuk duluan, juga paling semangat keluar duluan. Berhubung memang dia lagi di usia yang sedang lincah-lincahnya, Jenar sama Rei biasa membiarkan saja.

Ini pertama kalinya Wuje seakan "lenyap" begitu saja.

"Kamu duluan ke parkiran deh, siapa tau anaknya udah di sana. Aku coba cari. Nggak akan jauh deh, bisa jadi dia lagi mepet-mepet pagar buat ngobrol sama abang-abang pedagang telur gulung."

Rei mengangguk, berpisah jalan dari Jenar dan menuju parkiran lebih dulu. Tapi, Wuje juga nggak ada di sana. Perempuan itu sempat menunggu, hingga akhirnya dia kehilangan kesabaran dan memutuskan kembali ke area halaman depan gereja.

Sempat mencari sejenak, dia berhasil menemukan sosok Wuje yang berada agak di pojokan, tersembunyi oleh salah satu bagian dinding bangunan kompleks gereja tersebut.

Tadinya, Rei nggak berpikir macam-macam. Namun semakin dia mendekat, dia justru mendengar sepotong percakapan yang nggak dia tebak sama sekali. Bukan hanya suara Jenar, melainkan juga suara lelaki lain yang dia kenali.

Suara yang sudah lama nggak dia dengar.

Sempat ada keraguan terbersit dalam benaknya. Bertahun-tahun sudah lewat. Rei telah merasa kalau dia sudah sepenuhnya baik-baik saja. Tapi ternyata dia salah.

Suara itu, walau nggak lagi sekeras dan setegas dulu, tetap mampu membuatnya diserbu rasa takut.

Mungkin ada beberapa trauma yang tak akan pernah pergi, sekalipun bertahun-tahun yang tidak singkat sudah terlewati.

"You know it well that I am dying. I just wanna be close to him for some moments. I won't do anything harmful." Lelaki itu berujar. "So... please? You don't have to tell her..."

"Who's dying?"

Ada tiga kepala yang sontak tertoleh ke arah Rei pada waktu yang bersamaan.

"Regina—"

"Aku barusan nanya. Siapa yang sekarat?" Rei memotong, menatap lekat pada Jenar.

Jenar menarik napas panjang. "Look, aku—"

"I am dying." Ayahnya Rei menjawab sebelum Jenar bisa menyelesaikan ucapannya, memicu Rei mengalihkan pandang.

Sudah berapa tahun berlalu sejak terakhir kali Rei melihat lelaki itu?

Sepuluh tahun?

Mungkin saja, walau nggak bisa dipastikan, sebab Rei nggak pernah benar-benar menghitung.

Pertemuan terakhir mereka bukan jenis pertemuan yang patut dikenang. Luka yang sudah ditorehkan terlanjur dalam, membuat Rei sebisa mungkin nggak ingin melibatkan laki-laki itu di momen-momen terpenting dalam hidupnya yang kemudian datang; hari ulang tahunnya, hari pernikahannya, bahkan hari saat anaknya datang ke dunia.

Dia sudah jauh berbeda dari yang terakhir kali Rei ingat.

Kuasa masa memang tidak bisa dibendung, bahkan oleh mereka yang pernah terlihat begitu kuat. Rambut lelaki itu sudah mulai memutih. Kedua lengannya tampak masih setangguh dulu, tetapi dia terlihat sangat pucat. Rei nggak bisa memandang tangan itu berlama-lama. Itu tangan yang sama yang pernah menamparnya berkali-kali dulu.

"Saya sakit." Laki-laki itu mengulang dengan suara lebih keras. "Saya nggak tahu gimana bisa dia tahu, tapi itu kenyataannya."

Rei tetap diam, lidahnya terlalu kelu untuk berbicara.

A Bunch of Daddy ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang