63 | seribu tahun lagi

30.2K 4.7K 1.9K
                                    

"Minum dulu."

Setelah Rei sudah jauh lebih tenang, Jenar berinisiatif bikinin perempuan itu secangkir teh manis beraroma melati. Salah satu kebiasaan kecil dalam keluarga mereka yang Rei mulai sekaligus sesuatu yang Indonesia banget; apa pun masalahnya, teh manis hangat will always come to the rescue.

"Regina," Jenar memanggil sewaktu dilihatnya Rei tetap saja melamun. "Minum dulu, atau harus aku bantuin minum tehnya."

"Iya, aku minum."

Sementara Rei menyesap tegukan pertama tehnya, Jenar melirik jam yang tersemat di dinding dapur. Jarum pendek jam sedang merambat menuju angka satu. Dia menghela napas, kembali memandang pada Rei sewaktu perempuan itu meletakkan cangkir tehnya yang masih terisi ke atas meja.

"Better?"

"Tehnya asin."

"HAH?!" Jenar terperanjat. "Perasaan tadi aku udah masukkin gula deh, bukannya garam! Tapi oke, aku bikin lagi—" ucapan Jenar nggak terteruskan karena Rei tertawa kecil. Itu malah bikin Jenar memiringkan wajah dengan mata menyipit. "Kenapa kamu malah ketawa?"

"Cuma bercanda. Tehnya manis kok."

Jenar mendengus. "Regina!"

"Iseng aja, tapi muka kaget kamu barusan priceless banget." Rei terkekeh.

Jenar cemberut, walau tak lama, dia terlihat lega. "Aku bete kamu kerjain, tapi nggak apa-apa, seenggaknya bisa bikin kamu ketawa lagi."

Rei menarik senyum, lalu katanya. "Makasih ya. Maaf, tadi itu aku emosional banget."

"Jangan minta maaf, Regina. Sedih, kesal, frustrasi, itu wajar banget. Kamu manusia dan kamu punya perasaan. Aku nggak suka lihat kamu nangis atau sedih, tapi daripada kamu pendam sendiri, lebih mending kamu keluarin."

"It's just..." Rei termenung sebentar, seperti lagi memilah isi pikirannya. "Di satu sisi, aku kaget karena udah lama nggak lihat dia. Well, kita sempat ketemu di mall, tapi dia nggak bilang apa-apa. Kamu juga langsung nyuruh aku ngejauh bareng Arga. Selama ini, aku ngerasa aku udah baik-baik aja. Tapi ternyata, lukanya masih ada."

"Mm-hm." Jenar mendengarkan Rei, kentara sekali tengah memberi perhatian penuh.

"Aku pengen anggap dia stranger. Dia udah nyakitin aku. Dia udah bikin aku salah persepsi ke diriku sendiri. Tapi saat dengar dia bilang dia peduli sama Arga... rasanya sakit, soalnya itu berarti sebenarnya dia bisa punya rasa peduli—" Rei membuang napas. "—intinya begitu deh."

"Regina, aku yakin kamu udah pernah dengar aku ngomong ini, tapi just in case kamu lupa, aku kasih tau lagi ya, kamu nggak bisa mengendalikan gimana perasaan dan perlakuan orang lain terhadap kamu. Termasuk gimana perasaan dan perlakuan orang tua kamu. Sure, menurutku, sebagai orang tua, mereka harusnya sayang sama anaknya, bisa jadi safe place yang didatangi oleh anaknya, sebab kalau bukan mereka, siapa lagi yang diharapkan oleh seorang anak buat jadi tempat berlindung? Tapi perlu diingat juga, kalau nggak semua orang tua pantas jadi orang tua. Orang tua kamu adalah bagian dari yang menurutku nggak pantas itu." Jenar menerangkan. "Don't take it personal. Terkadang, seseorang nyakitin kita itu bukan karena salah kita, tapi karena merekanya aja yang punya penyakit hati. Lagi-lagi, kita nggak bisa kontrol hati mereka, kan? Kita cuma bisa berusaha jaga hati kita sendiri. Jangan sampai, karena mereka nyakitin kita dan kita anggap itu personal, kita jadi ikut-ikutan punya penyakit hati. That will be a never-ending hurt cycle."

Rei menggigit bibir, meneguk salivanya, lalu mengangguk. "Je, makasih banyak ya."

"Anytime, Regina." Jenar mengangguk, terus menarik senyum. "Tapi aku boleh nanya nggak?"

A Bunch of Daddy ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang