12. Namanya Sarah

4.9K 533 37
                                    

Jakarta masih macet bahkan pada malam hari. Halte busway kota-blokM saat itu juga penuh oleh orang-orang yang berlalu lalang.

Kaki ku melangkah keluar dari areal halte yang penuh sesak. Berjalan menaiki tangga, berjejal bersama orang lain yang sama-sama ingin pulang.

Sampai di pintu luar halte, aku dapat melihat sebuah bangunan museum. Itu adalah museum bank mandiri, di depan bangunan nya ada banyak sekali pedagang kaki lima yang sedang berjualan menjajakan dagangan nya.

Museum bank mandiri terlihat lebih misterius dan cantik jika di pandang pada malam hari.

Rasa lelah mendera kaki ku, hampir satu jam aku berdiri di dalam busway. Saat di dalam bus sebenarnya aku sudah mendapat kursi duduk, lalu di pemberhentian berikutnya aku melihat seorang ibu tua yang terlihat kelelahan.

Suasana di dalam busway kala itu juga penuh sesak. Sebagian dari mereka yang tidak mendapat kursi harus rela berdiri. Beruntung nya ibu tersebut berdiri di hadapan ku. Dengan cepat akupun ikut berdiri, merelakan kursi ku untuk di duduki ibu itu. Tak tega rasanya melihat seorang ibu tua berdiri hingga ke pemberhentian berikutnya.

Ibu tersebut tersenyum sembari mengucapkan terimakasih. Mendengar hal sederhana seperti itu, hatiku seketika bahagia.

Malam itu suasana nya tidak terlalu sepi. Aku melihat ke arah jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah menunjukkan waktu tujuh malam.

Awalnya aku berniat untuk memesan jasa ojek online. Tapi entah mengapa, saat itu rasanya ingin sekali berjalan jalan menelusuri areal kota tua saat malam hari.

Cerita yang sedang ku tulis ini memang berlokasi di wilayah kota tua.

Langsung saja, kaki ku berjalan menyusuri tiap-tiap bangunan tua peninggalan Belanda jaman dahulu. Di mulai dari melewati bangunan museum bank mandiri.

Entah mengapa, saat itu rasanya aku ingin melewati bangunan museum bank Indonesia. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa rencana aku hanya berjalan menuruti insting ku saja.

Berjalan dalam temaram nya lampu lampu bangunan tua, mata ku menatap ke segala arah sesuka ku melihatnya.

Sampai di sebuah jalan, aku merasa ada hal aneh yang membuat ku ingin sekali menatap bangunan tersebut lebih lama lagi.

Dadaku seperti tersentak, ada rasa sesak yang hinggap sampai membuat ku berhenti berjalan.

Aku menoleh, melihat ke arah bangunan tersebut. Seperti ada sosok noni Belanda bergaun putih sedang menangis. Bajunya terlihat sangat kuno, baju terusan seperti daster tapi memiliki renda unik di sekeliling pakaian nya. Rambutnya hitam panjang bergelombang agak sedikit keriting, di biarkan terurai begitu saja.

Aneh, aku melihat sosok nya tapi tidak melihat bagaimana bentuk wajahnya.

Masih berdiri sembari terus melihat ke arah bangunan. Noni itu terus saja menangis, mengeluarkan suara parau menyayat hati.

Memang kebanyakan sosok astral yang ku lihat selalu saja menangis. Entah masalah apa yang mereka hadapi sewaktu hidup dulu, hingga di kala menjadi hantu pun tangisan itu sampai di bawa sampai mereka mati.

Ingin rasanya aku kembali berjalan, namun lagi-lagi perasaan aneh muncul dalam benak ku.

Semakin lama mendengar tangisan tersebut, hatiku semakin terasa sakit. Rasa sedih, menyesal, malu semuanya tercampur aduk menjadi satu.

Aku menghela nafas panjang sembari memejamkan mata, mencoba menyingkirkan semua perasaan itu.

Tapi bukannya membaik, perasaan itu malah menjadi semakin tak karuan. Mata ku malah terasa panas, rasanya ingin sekali menjatuhkan air mata dan ikut menangis.

Indigo Stories 2Where stories live. Discover now