20. Kelam Di Dalam Museum Lubang Buaya

4.5K 433 88
                                    

Berawal dari komentar seorang teman di Instagram. Teman lama sejak masa sekolah dulu. Yang mengajak ku untuk hunting bersama ke sebuah tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya.

Airin namanya, perempuan yang sudah lulus dari fakultas jurnalistik. Kami berdua memang memiliki hobi yang sama, sama-sama menyukai fotografi.

Sebuah ide muncul dalam pikiran ku. Ada sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Karena letak tempat tersebut memang sangat jauh jaraknya dari rumah.

Museum Lubang Buaya nama tempatnya. Lokasi nya berada di wilayah Cipayung Jakarta Timur.

Ku kirimkan pesan WhatsApp ke Airin, merekomendasikan Museum Lubang Buaya untuk di jadikan tempat hunting.

Beberapa menit setelah pesan itu terkirim, Airin membalas dan setuju dengan ide ku.

Aku dan Airin kemudian mengatur lokasi pertemuan. Kami sepakat untuk berangkat di jam sembilan pagi. Perjalanan menggunakan transportasi umum busway.

Kami memutuskan untuk bertemu di halte busway jembatan dua.

Sebelum berangkat, aku mengemasi tas kamera ke dalam tas punggung berukuran kecil. Tidak lupa membawa botol air minum dan payung lipat, berjaga-jaga bila hujan turun selama perjalanan.

Agak ragu juga sebenarnya, mengetahui tempat yang akan ku datangi merupakan tempat yang dahulu di gunakan sebagai tempat penyiksaan.

Lubang buaya menjadi saksi bisu atas kekejaman PKI terhadap beberapa Jenderal. Pada masa itu, Lubang buaya menjadi tempat penyekapan sekaligus pembunuhan.

Ada tujuh Jenderal yang di bunuh kemudian mayat nya di buang dalam sumur tua itu.

Ketujuh orang itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Jenderal Siswandono Parman, Jenderal Suprapto, Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Jenderal MT Haryono, Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, dan Kapten Pierre Andreas Tendean.

"Kau yakin untuk berangkat?" tanya Wira

"Aku yakin"

Setelah semuanya siap, aku bergegas untuk berangkat. Dari rumah aku sudah memesan ojek online menuju halte busway.

Cuaca Jakarta cukup cerah waktu itu. Jalanan yang ku lewati juga tidak macet. Sungguh awal yang menyenangkan.

Setelah beberapa menit motor yang ku tumpangi melaju. Akhirnya sampai di jalanan menuju halte.

Letak halte tersebut berada di antara dua jalan layang. Jadi untuk sampai kesana, aku harus naik tangga terlebih dahulu. Mirip seperti tangga jembatan penyeberangan orang atau JPO. Dan setelahnya barulah sampai di halte busway jembatan dua.

Rupanya aku yang pertama sampai, Airin masih dalam perjalanan.

Aku menunggu sembari memainkan handphone. Menunggu hingga sepuluh menit. Akhirnya orang yang di tunggu sampai juga.

"Hai!" aku melambaikan tangan

"Maaf ya, aku terlambat"

"Santai aja rin. Kamu apa kabarnya?" tanya ku yang sudah lama tidak berjumpa dengannya

"Alhamdulillah baik agni, kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah baik juga" jawab ku

Sehabis berbincang beberapa saat, kami berdua segera masuk ke dalam halte. Sebelum masuk halte dan menggunakan busway, terlebih dahulu aku menempelkan sebuah kartu busway pada sebuah mesin tiketing di sana.

Dari halte jembatan dua, kami harus duduk sampai di pemberhentian akhir halte busway Pinang ranti.

Sebelum pergi, aku memang sudah mencari rute termudah. Tentunya menggunakan transportasi umum, karena lebih murah.

Indigo Stories 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang