D e l a p a n B e l a s

8.9K 1K 44
                                    

"Ngomong apa aja sama Mama tadi?" Jeje menggelengkan kepalanya sembari menatap Deo. Pemuda di depannya ini menghembuskan nafasnya lelah lalu bersandar di sofa.

Mereka berdua tengah menikmati semburat jingga di balkon kamar, sepertinya Jeje jadi menginap di rumahnya. Cewek itu pun sudah mengganti bajunya sedari siang.

Kaos pendek juga celana cinos selutut kepunyaan Deo.

"Lo dimarahin ya tadi?" Tanya Jeje dan Deo menggelengkan kepalanya.

"Nggak, cuma dinasehatin doang," ujar Deo dan mengambil selembar kartu dari kantung celananya. Jeje mengerutkan kening, apa maksudnya.

"Buat elo," ujarnya tiba-tiba.

"Maksudnya? Gue gak bisa terima," tolak Jeje.

"Ini dari gue Jeje, gak lebih dari 50 kok."

"Ribu?"

"Jutalah, bego!"

Jeje menatapnya tajam dan merebut kasar kartu Atm yang baru saja Deo berikan padanya, sedikit tidak percaya dengan ucapan Deo jika kartu ini darinya.

Percaya tidak jika di usia muda, Deo sudah menjadi pengusaha sukses dibidangnya. Mempunyai beberapa toko yang menjual barang-barang alat muncak juga puluhan kedai Alpukat kocok yang digandrungi anak muda di Jakarta.

Kedua produk dengan nama brand yang sama, apalagi jika bukan Deo's sebagai merknya. Jika bukan karena Rio, mana mungkin usahanya berjalan maju.

"Gue cuma pacar loh, nanti nyesel!"

"Gak akan," ucap Deo santai.

"Gue emang lagi butuh duit, gue terima ya?"

"Tiap bulan nanti gue isi," ujar Deo lagi dan Jeje menatapnya dalam.

"Lo gak takut uangnya gue bawa kabur? Percaya banget kayaknya sama gue," ucap Jeje dan Deo mengacak rambut Jeje dengan gemas.

"Pergi kemana pun lo mau, asal sama gue."

"Itu namanya bukan kabur anying," sentak Jeje dan Deo terkekeh. Pemuda itu senang sekali membuat Jeje kesal, ekspresi gadisnya yang tidak dibuat-buat membuatnya enggan berpaling dari cewek satu ini.

"Mau gue cat gak sih rambutnya?" Tanya Deo sembari memainkan rambut Jeje yang hanya sebahu. Jeje menepis pelan tangan Deo dan menggelengkan kepalanya.

"Gue gini-gini gak bakal ngerubah rambut asli ibu pertiwi yah," ujarnya kemudian.

Tak!

"Aw...sakit Deo," rintih Jeje saat Deo dengan sengaja menjitak kepalanya. Bukannya meminta maaf pemuda itu dengan santai terkekeh dan merangkul leher Jeje agar mendekat padanya.

"Bahasanya ketinggian, bilang aja gak suka."

"Lagian gue gak pernah warnain rambut Deo, males."

"Sekarang mau? Gratis deh pokoknya sama mbak pacar," ujar Deo lagi. Jeje meliriknya tajam dan Deo otomatis terdiam, jika sudah seperti ini Deo tidak berkata apa-apa lagi.

"Iya deh," ucap Deo mengalah.

Jeje diam-diam menahan senyumnya karena Deo mengalah dengan gampangnya. Detik selanjutnya Jeje menjatuhkan kepalanya di paha Deo dan memandangi wajah pemuda yang memakai kaos putih ini dari bawah.

"Kenapa? Liatinnya gitu banget," tegur Deo.

"Lo ganteng juga, baru nyadar."

Deo menjepit kedua pipi Jeje dengan gemas, kalau bukan pacarnya sudah ia lempar ke empang karena baru menyadari jika dirinya tampan. Turunan Rio dan Tata mana ada yang jelek, lihat saja nanti calon adik Deo.

"Lo cantik juga, gue udah nyadar dari dulu."

"Kesannya kok kayak udah kenal lama, padahal kan baru," ujar Jeje.

"Cinta emang gitu, Je."

"Halah," Jeje mengibaskan tangannya dan mengubah posisi wajahnya menjadi menghadap perut Deo, menutup mata dan menghirup aroma wangi Deo dalam-dalam.

Entah sejak kapan ia menyukai ini.

"Mau tidur?" Tanya Deo dan Jeje menggelengkan kepalanya tanpa menoleh.

"Masih sore sih, jalan mau gak?"

"Kemana? Gak ada capenya."

Jeje bangkit dari rebahannya dan merapihkan rambut sebahunya. Sementara Deo sudah berdiri dan menarik tangan Jeje. "Bentar."

Keduanya keluar dari kamar dan menuruni tangga. Dibawah sana, ada Rio dan Agla yang sedang menonton dokumentasi pernikahan mereka dulu. Lesehan dikarpet dengan beberapa bungkus snack didepaannya.

"Pada mau kemana?" Tanya Agla.

"Mau keluar, Mah. Ada yang mau dibeli?"

"Nitip es capucino ya," ucap Agla yang dihadiahi cubitan gemas dipipinya.

"Es mulu, heran," gemas Rio dan Agla hanya mendelik kesal.

"Itu aja?" Tanya Deo lagi dan Agla hanya mengangguk.

Akhirnya kedua remaja itu keluar dari rumah dan berboncengan naik motor. Tidak ada tujuan, yang penting jalan. Deo mengendarai motor maticnya sesekali bersiul senang.

Jeje menatap punggung Deo dan memeluknya tanpa diperintah."sorry," ujarnya kemudian saat merasa Deo melirik tangan yang melingkar di perutnya.

Apa sanggup ia meninggalkan Deo nantinya? Lambat laun, semuanya akan berakhir.

"Kok diem?" Tanya Deo.

"Kalo gue nyanyi dikira ngamen."

"Nggak nyanyi juga, ya ngobrol kek."

"Ngobrol apa? Males, pengen nyender." Ujarnya sembari menyandarkan kepalanya dipunggung Deo hingga cowok itu terkekeh pelan.

Beberapa menit mereka terdiam menikmati jalanan sore yang ramai, klakson kendaraan saling bersahutan juga jajanan yang mulai dijajakan. Jeje menumpukkan dagunya di bahu Deo hingga cowok itu meliriknya lewat spion.

Deo jadi ingat sesuatu.

"Je," panggilnya dan Jeje berdeham singkat.

"Kapan ngajak gue ketemu sama anak lo?"









Sehat-sehat ya guys.

Semangat!

ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now