S e m b i l a n B e l a s

8.6K 1K 105
                                    

Jika ditanya di hari apa yang paling membahagiakan. Jeje akan menjawab hari ini, ternyata dibalik hancur kehidupannya ia masih bisa tersenyum hangat, apalagi dengan pemandangan di depannya.

Pukul 03:40, Jeje terbangun karena suara aneh yang tak lain adalah suara dengkuran Deo. Pria itu tengah tengkurap sembari memeluk bantal dibawahnya. Jeje terkekeh pelan mengelus dahi Deo dan membenarkan letak rambutnya yang berantakan.

Setidaknya ia pernah merasakan bagaimana menikmati pahatan wajah Deo dalam jarak dekat.

Detik selanjutnya Jeje bangkit dari ranjang dan keluar menuju balkon. Kamar Deo ini nyaman, kenapa pemiliknya jarang sekali ada di rumah. Menggeleng pelan Jeje duduk di sofa, percis seperti sore kemarin. Membawa salah satu buku Deo yang tersusun rapi lalu membacanya.

Dulu, sebelum hidupnya seperti ini. Ia rajin sekali membaca, entah itu fiksi atau buku pelajaran.

"Kok diluar? Dingin tau."

Jeje mendongak menatap Deo dengan mata menyipit, kenapa harus bangun jika masih mengantuk. Jeje mengedikkan bahu dan menepuk sofa empuk disebelahnya agar Deo duduk disana.

Deo lantas duduk dan menyenderkan kepalanya dibahu Jeje, meski terlihat lucu karena tinggi cewek itu lebih rendah darinya.

"Deo, masih mau ketemu anak...gue?" Tanya Jeje gugup. Pasalnya ia tidak siap melihat reaksi Deo jika bertemu dengan anaknya nanti.

Pemuda ini pun menegakan kepalanya dan mengangguk cepat. Kenapa Jeje baru bertanya lagi sekarang?

"Mau banget. Kapan?" Tanya Deo antusias.

"Sekarang."

"Sepagi ini?"

"Jauh jalannya," jawab Jeje dan Deo segera berdiri dari duduknya. Masuk ke kamar, lalu kembali menghampiri Jeje dan memberikan sebuah jaket pada Jeje.

"Ayo! Pake jaketnya, dingin."

"Seburu-buru ini?" Tanya Jeje menirukan suara Deo beberapa detik lalu.

"Yaudah, santai aja." Ujar Deo dan Jeje tertawa melihat ekspresi Deo. Lucu sekali.

Akhirnya diam-diam keduanya meninggalkan rumah, Deo sepertinya memang senang membuat Agla khawatir. Setelah mengeluarkan salah satu motor kesayangannya dan memastikan Jeje duduk dengan nyaman Deo pun menggas motornya, membiarkan suara bising mesin memenuhi jalanan yang hampir sepi.

"Deo," panggil Jeje. Deo berdeham singkat dan mengusap punggung tangan Jeje yang melingkar di pinggangnya.

"Gue bingung, gue gak mau kita kayak gini."

"Ck. Kenapa lagi sih?" Tanya Deo berdecak sebal dan tanpa sadar Jeje menutup matanya sesal.

Lantas, Jeje tidak menjawab lagi dan mereka terdiam sampai akhirnya perjalanan mereka usai. Jam masih menunjukan pukul 04:30, tapi Jeje segera turun dan Deo mengikutinya.

"Kok kuburan?" Tanya Deo bingung.

Tidak mau bertanya lagi karena Jeje tidak menanggapinya. Deo hanya mengikuti cewek di depannya ini, menyusuri banyaknya gundukan tanah di kanan kirinya.

Sementara Deo dihampiri rasa bingungnya, berbeda dengan Jeje yang merasa terkejut dengan sosok yang tengah berjongkok di depan makam anaknya. Selama ini, ia memberi tahu Deo jika dirinya sudah mempunyai anak memang benar adanya, namun jika masih hidup atau tidak jawabannya ya ini.

"Gad," ucap Jeje lirih. Pria yang menggunakan topi hitam sembari menunduk itu mendongakan kepalanya. Menatap wajah manis yang sudah lama tidak ia lihat. Ia rindu.

"Jes."

Deo bingung sedang dihadapkan dengan situasi apa saat ini, apalagi dinginnya pagi begitu menusuk kulitnya. Deo hanya diam sembari menyimak kedua orang yang pernah mempunyai hubungan dekat ini.

"Gue kangen," ujar Gad pelan. Hatinya bertanya siapa gerangan pria yang bersama Jeje, apa mereka ada hubungan.

Jeje menutup matanya. Jika dulu ia merasa jantungnya seperti akan melompat, lain dengan sekarang. Rasanya sakit, sayatan di hatinya belum sembuh. Mau bagaimana pun, ia tidak akan pernah bisa melupakan macam hal buruk yang menimpanya bersama Gad.

"Gue nggak," balas Jeje lalu berjongkok. Menarik tangan Deo agar turut berjongkok di sampingnya. Mata Gad dan Deo sempat bertemu, namun mata teduh Deo tidak begitu peduli.

Gad Samuel hanya masa lalu Jesica Dian, tidak lebih.

"Kenalin, ini Ardeo," ucap Jeje mengusap punggung tangan Deo yang menumpu di lututnya.

"Pacar?" Tanya Gad.

"Malaikat gue." Jawabnya singkat, Deo ingin teriak rasanya.

"Tapi kita gak pernah ada kata berpisah, Jes."

"Perpisahan itu bukan kata, tapi tindakan. Lo ninggalin gue, lo biarin gue sendiri. Apa belum puas? Semuanya udah selesai Gad, gue gak mau bahas." Ujar Jeje dan mulai berdoa, begitu pun Deo. Hening lagi-lagi menyelimuti ketiganya. Gad sudah berdiri sembari menatap gundukan tanah yang tak lain adalah anaknya yang meninggal sekitar dua tahun lalu.

Umurnya yang baru tiga minggu, benar-benar membuatnya merasa kehilangan. Kehilangan dua orang sekaligus. Siapa lagi jika bukan anaknya juga Jesica.

"Ardeo," panggil Gad dan Deo menoleh padanya.

Ada apa pria itu memanggil namanya, sok misterius pula.

"Boleh gue minta Jesica balik?" Tanya Gad dan Jeje yang menunduk lesu segera bangkit. Berdiri diantara Deo juga Gad yang memiliki tinggi badan yang sama.

Tanpa dijelaskan kalian mengerti kan arti balik yang dimaksud Gad? Iya, pria itu ingin Jesica kembali padanya.

Plak!

Jeje menampar Gad dan cowok itu terkekeh pelan dan menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Tamparan Jeje memang tidak pernah main-main.

"Mana ada cowok yang mau nerima cewek gak perawan kayak elo Jesica, balik sama gue. Kita perbaiki semuanya," ujar Gad tanpa dosa.

"Tuhan maha baik Samuel, otak lo terlalu cetek nggak mikir sampe situ." Ujar Deo dengan wajah datar dan menarik tangan Jeje pergi meninggalkan tempat itu.

Namun belum lima langkah sebelah tangan Jeje tertarik ke belakang dengan kasar membuat Deo repleks menonjok wajah Gad. Emosinya meledak begitu saja apalagi setelah mendengar Jeje meringis kesakitan.

"Gue ada urusan sama lo!" Ujar Gad marah.

"Gue ingetin Gad Samuel, The past will remain in the past. There is no history of improvement in terms of pain. I'm the winner Samuel, Oh don't forget. I love the girl I'm holding hands with now. remember! God is good. You ruined her life, don't be jealous if later she can be happy with me."

Gad menggeram marah, sementara Jeje bingung karena tidak mengerti apa yang diucapkan Deo. Yah! Alasan yang tepat, Deo tidak ingin Jeje mendengarnya ucapannya secara langsung.

"Ayo pulang!" Ajak Deo dan menarik kembali tangan Jeje. Tidak menyangka sepagi ini ia sudah mengeluarkan tenaga saja untuk memukul wajah Gad.

"Gue takut Gad ngelakuin gal aneh."

"Kalau pun iya, yang menang pasti gue."

Sombongnya anak Rio!












Mau liat kecewanya Deo?

ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now