T i g a L i m a

7.2K 756 25
                                    

Happy Reading, enjoy.

_____

"Terakhir-terakhir!"

Deo berdecak mendengarnya. Akhirnya sesi foto selesai juga, ia berencana untuk mengantar Jeje lebih dulu sebelum mengantarkan Hero si ketua OSIS yang tidak bisa kopling. Padahal jika bisa, Deo bisa saja menitipkan motornya pada Hero. Biar saja bawa ke rumahnya.

"Gak usah buru-buru!" Perintah Deo saat Jeje akan menyalip motor di depannya. Setelah berfoto untuk terakhir tadi, semuanya kompak memisahkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Aruni pulang di jemput Abangnya yang marah karena gadis itu ikut konvoi-konvoi tidak jelas, lalu sekarang Jeje yang sendiri.

Langit sudah mulai menjingga dan mereka terjebak macet, Jeje yang senantiasa berkendara di depan tiba-tiba melajukan motornya lebih dulu saat lampu hijau menyala. Deo mengejarnya dan berdecak kesal.

"Dibilangin gak usah ngebut!"

"Kapan ngomong gitu dih?!" Lima belas menit kemudian, akhirnya sampai juga di rumah Jeje yang dijaga ketat 3 satpam yang selama 24 jam, dengan mudah Deo melewati gerbang tinggi dan mengantarkan Jeje tepat di depan rumahnya.

Sementara Jeje turun dari motornya, Deo memutar balik kendaraannya. Jeje menghampiri dan berbasa basi menawari mereka masuk lebih dulu, namun Deo segera menolak. Jeje mengangguk kecewa dan menatap Hero seakan memberi kode.

"Gue tutup mata nih! Sok mau salam tempel kan?" Hero menutup mata dengan kedua tangannya, Deo terkekeh kecil dan menangkup dua pipi Jeje. Mencium gemas kedua pipi juga keningnya. Jika tidak ada Hero, mungkin Deo juga akan mencium bibirnya.

"Aku pulang ya."

"Hati-hati," ujar Jeje dan Hero melambaikan tangannya ke arah Jeje. Melewati pos satpam dan mengklakson sekali, padahal ini kedua kalinya ia ke rumah Jeje namun bapak satpam cukup tau jika pemuda SMA itu mempunyai hubungan spesial dengan anak majikannya.

"Rumah Lo dimana sih, Ro?"

"Pondok indah," jawab Hero.

"Orang kaya," canda Deo dan Hero tertawa.

"Sayang banget orang kaya gak bisa kopling," lanjut Deo dan Hero menatap punggung Deo masam. Mau bagaimana lagi dari pada celaka, bisa matic saja sudah syukur.

"Jauh juga Lo ke sekolah, Ro!"

"Gue ngekos Ardeo, deket-deket sini!" Greget Hero.

"Anjing! Gue kira, gue harus nganterin lu ke pondok indah. Bangsat emang," Hero tertawa lagi mendengar dengusan Deo, teman seangkatannya yang terkenal diantara teman satu organisasinya.

"Lo kapan balikan sama Jeje, De?"

"Kenapa Lo penasaran?" Tanya Deo dan sesekali melihat pos polisi, begini-begini ia juga mempunyai rasa takut.

"Soalnya Denisa ngomong kalo dia lagi ngejar Lo!" Tepat saat lampu merah lagi, Deo sedikit menoleh pada Hero dengan mata memicing.

"Denisa tuh mulutnya ember ya, suka sama cowok semua orang tau," keluh Deo. Dia juga tidak nyaman jika di dekati Denisa. Kemarin suka Rido, hari ini suka Deo. Maunya apa sih.

"Tanya Danial, dia kan mantannya."

"Kapan jadiannya? Kok Lo tau, Ro!"

Lampu merah dan sesi ghibah. Bahkan ibu-ibu yang membawa motor Beatnya sempat menoleh saat kedua pemuda itu bicara tentang perempuan, Deo menggeplak lutut Hero karena cowok itu masih belum menjawab.

"Katanya pas SMP. Jeje sih yang bilang!"

"Kok Lo bisa ngobrol sama Jeje?!" Tepat saat ia berteriak kaget lampu hijau sudah menyala, Deo melajukan motornya.

ARDEO MAHENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang