D u a S e m b i l a n

6.4K 737 14
                                    

"Beneran cewek?"

Rio dan Agla saling berpandangan, tidak paham dengan pertanyaan yang Deo lontarkan. Jelas-jelas bayi kecil yang ada di box bayi itu seorang perempuan, matanya sedikit sipit membuat Deo heran karna pada dasarnya di keluarga mereka tidak ada yang bermata sipit.

"Kok handsome," heran Deo lagi dan Rio menyentil pelipisnya, maha karya Tuhan kok di buat bingung.

"Mirip Deo. Deo mirip Ayah, jatohnya kan ganteng."

"Makasih," ujar Rio, rupanya ayah dua anak itu menganggap Deo sedang memujinya.

Agla menggelengkan kepalanya sembari tersenyum geli melihat kelakuan Deo, karena memang pada dasarnya anak keduanya yang baru saja lahir mirip Rio. Apa kalian pernah dengar jika kemiripan anak yang di dominasi salah satu orang tua, bisa dilihat siapa yang cinta mati.

"Gila, umur 18 baru punya adek." Ujar Deo lagi, sepertinya ia masih speechless melihat Rinjani.

Rinjani Adia Mahendra. Janji mereka berdua saat menanjak gunung Rinjani dulu, orang tuanya memang segila itu sampai merencanakan nama yang menurutnya terdengar aneh dan masih sedikit penggunaannya.

"Udah sih, De. Bacot mulu!" Rio nampak kesal dan Deo mencebikkan bibirnya sampai ketukan pintu juga gumaman permisi terdengar bersamaan dengan seseorang yang masuk ke ruangan tempat Agla di rawat. Lebih tepatnya, tempat Agla istirahat sebelum diperbolehkan pulang.

"Jeje!" Deo terkejut bukan main saat Jeje datang dengan plastik besar berwarna putih di tangannya. Jeje tersenyum kecil dan menghampiri Agla, menyalami kedua orang tua dari mantan pacarnya.

Oke, mantan pacar.

"Selamat ya tante, Jeje cuma bisa bawain ini." Ujar Jeje tidak enakan, bahkan perempuan itu tidak menyapa Deo lebih dulu dan beberapa kali mengalihkan pandangan mereka saat bertemu.

"Makasih ya, Je. Bikin repot," jawab Agla dan sesekali memperhatikan Deo yang berangsur mundur lalu merebahkan tubuhnya di sofa, pura-pura tidur.

"Kamu sendirian?" Tanya Agla lagi dan Jeje mengangguk.

"Jeje gak bisa lama, mau langsung pulang." Ujar Jeje dan Agla segera memanggil Deo.

"Dianterin Deo ya," Deo membuka matanya melirik Agla sebentar, sementara itu Jeje menggelengkan kepalanya.

"Gak usah...,"

"Ayo!" Deo menarik blazer coklat yang tergeletak di sofa, memakainya lalu mengambil kunci motornya. Keluar duluan tanpa menunggu persetujuan dari Jeje.

"Jeje pamit ya om, Tante." Lalu menyusul Deo keluar.

Di lorong rumah sakit, mereka berjalan beriringan. Tanpa suara dan diam-diaman sepanjang jalan, Deo tidak betah dihadapkan dengan situasi seperti ini. Apalagi melihat penampilan Jeje yang sekarang terlihat begitu beda. Rambut sebahu bahkan digerai meski perempuan disampingnya ini masih setia dengan outfit berupa kaos juga jeans andalannya.

"Je."

"Deo," Keduanya memalingkan wajahnya, kenapa jadi kaku dan canggung seperti ini. Detik selanjutnya mereka berdua tertawa karna kebodohan masing-masing.

"Kita masing nyambung," ucap Deo dan terkekeh sebentar.

"Jadi temen," jawab Jeje menatap Deo, sedangkan yang ditatap mengeluarkan ekspresi sendunya.

"Musuhan aja deh," Deo menaiki motornya dan membuka footstep, terlihat sederhana namun berhasil membuat hati Jeje bergetar. Perlakuan Deo yang ternyata tidak pernah berubah.

"Malah ngelamun, ayo sayang naik!"

"Deo!" Bukannya takut mendengar Jeje menegurnya, Deo tertawa hebat dan merapatkan bibirnya supaya tidak mengeluarkan suara tawa lagi, Jeje duduk diboncengan Deo. Tanpa memeluk dan membiarkan tangannya menumpu pahanya sendiri.

"Ah gak asik!" Ujar Deo dan sengaja mengerem mendadak sebelum keluar area parkiran, Jeje menampar punggung Deo. Karena pemuda itu dadanya menempel sempurna di punggung lebarnya.

"Biasanya meluk," ujar Deo lagi.

"Sekarang udah beda."

"Gampang banget move on-nya sih, Je. Kasih tips lah, gue masih gamon nih!" Jeje mencubit punggung Deo lagi merasa tidak terima mungkin, move on dari mana sedangkan Jeje ingin menghindar saja masih tidak bisa.

Pertanyaannya, kenapa Jeje ingin putus?

"Deo, udah."

Akhirnya Deo diam, beberapa melewati lampu merah dan hanya membuka suaranya bertanya dimana rumah baru Jeje. Deo sampai tidak menyangka dengan istana di depannya, ada tiga satpam depan yang menjaga gerbang. Setelah melihat yang dibonceng siapa akhirnya mereka dipersilahkan masuk.

"Ayah Lo orang kaya banget ya?" Dahi Jeje mengerut mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak ia mengerti. Deo menggelengkan kepalanya dan berputar balik, ia bahkan tidak merespon dengan ekspresi yang Jeje tunjukan.

"Gue sebenernya penasaran, tapi kayaknya Lo gak mau gue usik lagi. Lo mutusin gue udah jalan yang paling bener, semoga pas kita ketemu semuanya bakal biasa aja. Makasih," ujar Deo dan menggas motornya dari sana. Menjauhi Jeje yang menatapnya sendu.

Tuhan, kenapa jadi rumit seperti ini. Bahkan mendengar kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut Deo, Jeje ingin menangis saja. Kenapa terdengar nada menyerah disana. Deo benar-benar pergi?

Jeje melepas Deo pergi, meski sesak tiba-tiba menyerang dadanya. Dijalan, Deo sempat melamun sampai akhirnya ia melihat sosok Rido baru saja keluar dari kios laundry yang sepertinya baru saja buka.

"RIDO!"

Rido ingin hilang saja saat mendengar teriakan temannya, Deo si anak sultan yang kadang-kadang bego dan tidak tau malu. Deo menghentikan motornya tepat di kios laundry milik ibu Rido, sedangkan cowok itu terlihat menahan kesal.

"Apaan?"

"Rido, adek gue udah lahir tau." Rido tidak habis pikir dengan kelakuan random Deo, memberitahu hal besar dengan nada yang dibuat-buat. Meski begitu Rido ikhlas kok berteman dengan Deo, meski sifatnya agak minus.

"Kapan?"

"Kemaren. Tapi tau gak, adek gue ganteng anjir."

"Cowok? Punya saingan dong!" Ujar Rido antusias.

"Cewek, namanya aja Rinjani."

"Rinjani?" Kekeh Rido dan Deo menganggukkan kepalanya.

"Bukan Lombok?" Rido tidak bisa menahan tawanya sehingga Deo menatapnya tidak suka, berani tidak ya Rido ngomong seperti itu di hadapan Rio.

"Lombok Adia Mahendra dong!" Tambah Deo dan Rido terbahak-bahak. Humor Rido itu receh sekali, mendengar kalimat sepele saja tertawa parah.

"Do, ngopi yuk!" Rido terlihat menimang-nimang ajakan Deo, sementara Gina sang adik ia bawa ke laoudry.

"Ada Gina, gak bisa."

"Ajak aja skuy, telpon Toha sama Dery sekalian." Akhirnya, Rido mengajak Gina. Adik bungsunya. Rido memang tidak bisa lepas dengan Gina, ia terbiasa dengan kehadiran adik kecilnya itu kecuali saat ia sekolah.

Menurut Deo, Rido itu Abang terbaik. Rido duduk diboncengan Deo, dengan Gina yang setia menempel di dadanya dengan gendongan koala. Paling Deo mengajaknya ke SB.

"Lo beneran udah putus sama Jeje?" Deo mengedikkan bahunya dan mengambil Gina dari gendongan Rido setelah mereka sampai di Starbucks daerah Cilandak barat.

"Gak usah diomongin lah, Do. Udah males," ujar Deo dan Rido mengangguk.

"Bener kata Dery...,"

"Emang Dery pernah ngomong apa?"

"Orang yang jatuh cinta, cenderung siap untuk sakit!"

"Gue nggak sakit, cuma males ngomongin Jeje."

"Hmm susah move on dah ini!" Ujar Rido lagi dan Deo menatapnya tajam.

"Gina pulang ke rumah gue deh pokoknya," ancam Deo dan Rido segera mengambil Gina dari gendongan cowok yang dulunya gondrong itu.

"Abang gak bakal biarin kamu di culik pedofil, Gin!"

"Bangsat lu, Do!"





______

😂




ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now