D u a L i m a

6.9K 839 28
                                    

"Geblek nih anak, bangun Deo!"

Deo tidak menggubris ocehan yang keluar dari mulut Rido, ia terlalu ngantuk dan memanfaatkan waktu istirahatnya untuk tidur di kelas. Namun, ia juga tidak tidur tenang saat Dery ikut serta membangunkannya dengan cara menggebrak meja.

"Cewek Lo berantem di kantin anjir!"

"Siapa?" Kedua anak itu menggelengkan kepalanya, memang pacar Deo ada berapa sampai pemuda itu bertanya siapa yang dimaksud Dery.

"Jeje gelut sama Aleta!" Rido dan Dery tidak tahan dengan ekspresi linglung yang ditunjukan Deo. Butuh beberapa detik untuk mencerna semuanya, apalagi ia tidur pulas sekali sampai ucapan kedua temannya tidak dapat ia tangkap dengan cepat.

"Dimana?" Tanya Deo kemudian, Rido sangat tidak sabar dengan gerakan Deo yang lambat.

"Kantin!"

Seperti mendapat energi yang diturunkan secara tiba-tiba, Deo bangkit dari duduknya dan berlari keluar kelas. Rido dan Dery mengikutinya dibelakang menuju kantin, sementara hari ini Toha tidak masuk sekolah.

"PERAWAN KTP!"

Plak!

Beberapa guratan tercetak jelas diwajah dua perempuan yang tengah terlibat perkelahian di kantin, Jeje dengan darah segar di sudut bibirnya menampar Aleta sekuat tenaga karena ucapan gadis itu yang menyakiti hatinya. Jeje cukup paham ia memang sudah tidak gadis lagi, tapi mendengar perkataan itu membuatnya naik darah.

"SETAN LO!"

"GUE TAU SEMUA MASA LALU LO JESICA!"

"TAU APA LO?!" Aleta terkekeh mendengar pertanyaan Jeje, gadis itu tersenyum miring. Bahkan, ia tau siapa Gad Samuel, dan apa hubungan pria itu dengan Jesica Dian.

"Cewek murahan!" Desis Aleta lagi dan Jeje menarik rambut gadis tinggi itu lagi, pergulatan pun kembali terjadi. Sorakan para murid membuat Jeje semakin panas, ia tidak pernah di rendahkan seperti ini sebelumnya. Meski ia mengakui semuanya, ia tidak bisa menyangkal ucapan Aleta tentang dirinya.

Ia memang sudah tidak gadis lagi.

"De, Lo gak pisahin mereka?" Tanya Rido saat mereka sudah berdiri tepat dihadapan kedua orang yang masih sibuk bertengkar, Deo penasaran siapa yang memulai. Lantas, Deo bergerak mendekati mereka berniat memisahkan dua kucing itu dengan menumpahkan es jeruk entah punya siapa tepat ke atas kepala mereka berdua.

Seperti gerakan perintah, Jeje dan Aleta menatap Deo yang terdiam. Pemuda tampan yang memasang wajah datarnya menatap Jeje dengan pandangan yang sulit di artikan. Jeje tentu tau apa tatapan itu, tatapan kecewa mungkin.

Hari ini pertama Jeje kembali sekolah dan ia sudah mengacaukan semuanya.

"Deo," panggil Jeje dan Deo berjalan menjauhi gadis yang ia cintai itu, sebenarnya ia tidak tega melihat guratan luka yang tercetak jelas di wajahnya. Namun, rasa kecewa lebih mendominasi dirinya saat ini.

"Deo, dengerin penjelasan gue dulu!"

Selama ini Deo kurang apa sih? Ia melakukan semuanya untuk Jeje. Karena ia memang peduli dan sayang padanya. Namun, sepertinya Jeje belum paham dengan rasa yang selama ini Deo taruh. Karena mau seberusaha  apapun Deo membuktikannya Jeje tetap mengecewakannya.

"ARDEO!" Teriakan Jeje bahkan tidak bisa menggubris seorang Ardeo Mahendra untuk menghentikan langkahnya. Saat Jeje akan menumpahkan semua rasa sesalnya ia menerima telepon, nomor baru entah dari siapa. Ponsel ini juga pemberian Deo, bahkan seragam yang ia pakai. Kenapa setiap yang melekat di dirinya menyangkut Deo semua.

"Siapa?"

"Apa benar saya berbicara dengan Jesica Dian? Anak dari ibu Rinda Pramesti?" Di situasi seperti ini, kenapa seseorang menelponnya dan menanyakan hal yang menyangkut ibunya. Ia tidak mau terlibat apa pun.

"Maaf, saya tidak bisa...,"

Belum sempat menutup telepon entah dari pihak siapa Jeje seperti mendapat cambukan yang begitu nyeri di hatinya, perkataan selanjutnya dari perempuan disebrang sana berhasil membuatnya terdiam hingga bendungan air dimatanya tidak dapat ia tahan.

Jeje berbalik arah dan berniat bolos dari sekolah, ia tidak peduli dengan Deo bahkan penampilannya saat ini. Bekas cakaran juga bercak darah diwajahnya sama sekali ia pedulikan, meski terasa perih terkena air matanya sendiri.

Tidak butuh waktu lama akhirnya Angkot yang ditumpangi Jeje pun berhenti, perempuan yang masih berbalut seragam sekolah itu berlari sekencang mungkin hingga ia menemukan suster yang menelponnya tadi, tepat di depan kamar jenazah.

"Jesica, ibu kamu overdosis obat-obatan keras. Dia memakai Narkoba, dia juga perokok aktif. Kabarnya, ia mengalami sesak nafas dan ditemukan kritis dengan beberapa alat penghisap sabu di hotel. Sampai rumah sakit nyawanya sudah tidak tertolong."

"Memangnya kamu tidak tau ibumu ketergantungan obat?" Jeje menggelengkan kepalanya tanpa menoleh pada suster yang tengah mengusap bahunya itu, matanya menatap kosong pada pintu kamar jenazah tempat ibunya terbaring.

Tanpa rasa takut sedikitpun Jeje memasuki kamar jenazah dan membuka kain putih yang menutupi wajah ibu yang telah melahirkannya itu. Jeje tidak pernah membayangkan hal ini terjadi begitu cepat padanya, ia memang benci ibunya tapi tidak untuk pergi selamanya seperti ini.

"Mamah," untuk pertama kalinya setelah enam tahun terakhir ia tidak pernah menyebut panggilan itu. Jeje menangis sembari memeluk mayat ibunya yang sangat pucat, Jeje benar-benar tidak menyangka Rinda meninggalkannya dengan cara ini. Membuatnya harus menanggung sesal sepanjang hidupnya nanti.

"Titipan dari ibunya mbak, pihak hotel yang menemukan ini." Jeje mengangguk saja sembari menerima lembar amplop putih dan menggenggamnya. Jeje menatap jenazah ibunya yang dimasukan ke dalam peti oleh dua petugas rumah sakit dan memasukkannya ke dalam mobil ambulance.

Pemakan yang menyedihkan.

Jeje tidak tau saudaranya dimana, yang jelas jika bertanya perihal itu pada Rinda dulu, ia akan menjawab 'jika bisa hidup sendiri kenapa nanya sodara, Jesica kamu itu anak Mama satu-satunya. Jangan jadi beban buat siapa pun' itu adalah kalimat terakhir kali ia dengar dengan nada santai saat ia kelas 4 SD dulu.

Jeje ingat sekali, jika perayaan Natal pun apa pernah Jeje merasa kehangatan keluarga lengkap seperti teman-temannya. Sosok Ayahnya saja ia tidak tau apalagi harus mencari saudara bahkan neneknya.

Beberapa petugas rumah sakit mengebumikan Rinda, sampai akhirnya empat orang yang tidak Jeje kenal datang dengan pakaian hitam-hitam menghampirinya. Jeje sungguh tidak kenal sampai salah satu darinya menariknya ke dalam pelukan sampai Jeje meneteskan air matanya kembali.

Andai saja Deo ada disini, mungkin Jeje akan meluapkan segala kesedihannya pada pemuda yang telah memberi jiwa di hidupnya. Memeluk tubuh Deo erat dan menumpahkan semua tangis di bahu kokohnya.

Sampai Jeje tidak lagi bisa menopang berat tubuhnya dan berakhir pingsan di pelukan seseorang. Pelukan yang seharusnya sudah ia rasa delapan belas tahun lalu, pelukan yang seharusnya jadi rumah paling hangat untuk ia pulang. Jeje tidak tau jika yang memeluknya ini adalah sosok yang ia cari, sosok Ayah yang kini nyata adanya.

"Maafin Ayah, sayang."



____

Kok aku nangis ya.

Makin penasaran gak sih?!

Next? Vote+Komen ya!


ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now