D u a D u a

7.3K 865 38
                                    

"Setelah ini, gue bakal pergi selamanya dari elo Deo." Ungkap Jeje upaya Agar Deo tidak melakukan lebih padanya. Hingga detik itu juga Deo berdecak dan mengepalkan tangannya dan beranjak dari atas tubuh Jeje.

"Kenapa giliran sama gue Lo gak mau?!" Tanya Deo menarik tubuhnya dan duduk di sisi ranjang. Sementara Jeje mengambil kembali bajunya dan memasangnya kembali.

"Pake baju gue!" Deo melepaskan kemejanya, menyisakan kaos hitam polos ditubuhnya. Jeje menurut dengan cepat.

"Kancingin!"

"Iya," jawab Jeje pelan dan berdiri. Deo menggenggam tangan cewek rapuh ini, membawanya keluar dari kelab malam sialan ini.

"Mau kemana?" Tanya Jeje saat mereka tiba di parkiran. Deo bahkan sudah menyalakan mesin motornya, menyuruh Jeje agar segera naik.

"Gak usah banyak tanya, gue kangen."

Cewek dengan nama lengkap Jesica Dian itu segera naik ke boncengan Deo, ia mendadak takut dengan Deo malam ini. Terlihat seperti singa yang mengamuk.

"Jangan ngebut!"

Di kota besar seperti Jakarta saat ini, jalanan masih nampak ramai. Banyak sekali muda-mudi yang asik menikmati hidup dengan nongkrong bersama teman.

"Mangkanya peluk!" Jeje melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deo. Diam-diam cowok itu tersenyum kecil dan mengusap punggung tangan Jeje secara lembut.

"Kita mau kemana?"

"Kemana aja," jawab Deo dan Jeje hanya diam tidak menanggapi lagi. Mengeratkan pelukannya dan menghirup aroma Deo dalam-dalam. Jujur saja, ia sangat rindu pada pemuda yang tengah ia peluk ini.

"Deo, maaf." Ucap Jeje tiba-tiba. Deo masih bisa mendengarnya dengan jelas. Pemuda itu juga tidak bisa menyalahkan Jeje secara sepihak, karena nyatanya Jeje juga tidak mau melakukan hal yang ibunya suruh.

Jika boleh meminta, Deo ingin sekali menjauhkan Jeje dari sosok ibunya. Bukan ia jahat, ia hanya ingin Jeje hidup secara bebas. Perempuan yang ia cintai ini juga berhak memilih hidupnya. Bukannya disuruh menjadi pelacur dan menghasilkan banyak uang.

"Gue pengen pergi dari mama, De." Ujar Jeje lagi. Sebab keterdiaman Deo membuatnya tidak tahan untuk bicara lagi.

"Gue nyulik Lo gitu," ujar Deo dan Jeje mencubit punggungnya. Deo terkekeh dan mengusap lutut Jeje, menegakkan duduknya, menarik tangan Jeje agar melingkari lehernya. Sungguh anak bapak Rio ini sangat bagus memanfaatkan lampu merah.

"Deo," panggil Jeje.

"Apa sayang?"

"Bawa gue sejauh mungkin, gue takut."

Deo menarik gas kembali dan melanjutkan perjalanan mereka, sebenarnya ia juga bingung akan membawa Jeje kabur kemana. Ia juga tidak ingin apa yang ia lakukan nanti berujung pada tindakan kriminal. Karena yang jelas saat ini, Deo juga sudah menculik Jeje.

"Apartemen gue mau ya?"

"Sama elo kan?" Tanya Jeje ragu.

"Ya nggaklah yang, sendiri."

"Sayang-sayang pala Lo, kalo sendirian takut bego!"

"Takut apa nggak mau jauh dari gue?" Goda Deo dan Jeje memukul punggungnya. Sudahlah, sepertinya ia akan kabur sendiri saja. Pergi sejauh mungkin, dimana ia tidak akan menemukan ibunya bahkan Deo sekalipun.

"Bodoamat!" Jeje menarik tubuhnya, lebih tepatnya melepaskan pelukannya.

"Jangan ngambek, iya sama gue." Deo menarik tangan Jeje lagi dan melajukan motornya lebih kencang. Malam ini, cukup dingin buatnya yang hanya memakai kaos hitam saja.

ARDEO MAHENDRAWhere stories live. Discover now