09. Curhat

1.9K 221 26
                                    

Pagi yang indah untuk mengawali hari. Haechan dan manager sudah berada di pulau Jeju, menghadiri keluarga si pemuda yang sedang berlibur dan malah terkena bencana gempa.

Kini posisi keduanya ada di dalam taksi, berjalan menuju salah satu rumah sakit yang alamatnya telah dikirim oleh sang adik.

Selama perjalanan, jalan diiringi pepohonan dan beberapa burung yang lewat. Memang pulau Jeju tak memiliki banyak bangunan, untuk melestarikan alam disana. Terlihat beberapa rumah sudah roboh setengah, begitu juga dengan pohon. Membuktikan betapa kuatnya gempa sepuluh hari yang lalu.

"Ternyata gempanya besar, kenapa pas itu di Seoul gak kerasa ya?" Gumam si pemuda.

"Entahlah, tapi Doyoung rusuh karena ngerasa gempa sedikit." Balas manager yang mendengar gumaman Haechan.

Haechan dan manager menatap keadaan di sana dengan sendu. Saking fokusnya memandangi kondisi luar, mereka tak sadar bahwa taksi sudah sampai di rumah sakit.

Setelah membayar, Haechan langsung berlari menuju tempat resepsionis. Manager Shin tersenyum sembari menyusul pemuda itu.

"Ruangan bu xxx dimana ya, mbak?"

"Ah, ada di sebelah kiri. Dari sini tinggal lurus, ke kanan. Ruangannya berada di ujung dengan no B10." Jelas si mbak resepsionis.

Manager dan Haechan berterimakasih lalu pergi menuju kamar yang dijelaskan mbak tadi. Keduanya berhenti di ujung lorong, menatap pintu dengan tulisan B10. Begitu yakin bahwa itu adalah ruangan yang dituju, Haechan membuka pintu.

Seorang wanita dengan kepala terbalut perban dan kaki terbungkus gips sedang berbaring di atas ranjang. Tiga orang anak yang terlihat lebih muda dari Haechan sibuk makan di sofa. Saat mendengar suara kenop pintu dibuka, mereka bertiga menoleh.

"HYUNG! / OPPA!" Sahut mereka serempak.

"Halo, para adikku yang menyebalkan." Seulas senyum terbit di wajah Haechan. Ia mengusak rambut sang adik satu persatu, yang dibalas delikan dan tepisan. Memang tak ada adab.

"Halo eomma, Donghyuck datang." Haechan mengusap dan mencium punggung tangan ibunya yang tidak diinfus. Manager Shin yang di sebelah si pemuda membungkuk hormat.

"Appa ada disini?" Ketika Haechan menyadari tak ada sang ayah, ia bertanya pada adiknya.

"Nggak, appa masih sibuk, tapi kami sudah mengabari. Katanya minggu depan appa akan datang." Jelas si adik kedua.

Haechan mendengus. Kok bisa ayah masih sibuk di luar sana, sedangkan keluarganya sedang kesusahan. Tapi tidak apalah, asalkan beliau masih ingat keluarga dan berencana datang.

Pemuda tan itu menatap ketiga adiknya yang kembali sibuk makan.
"Kalian dapat makanan darimana? Nyuri uang eomma yaa. Kalau eomma bangun, hyung mau aduin ah~"

"Apa sih hyung, ini kan makanan gratis. Dikasih sama Noona-Noona cantik wee~" Si bungsu menjulurkan lidah pada Haechan.

"Eh biasanya kalian tidur dimana? Masa disini dengan sofa kayak gitu." Haechan mengalihkan pembicaraan, malas meladeni kelakuan si bungsu.

"Ada rumah pengungsian kok, oppa. Deket sini, tempatnya juga lumayan nyaman." Balas adik perempuan. Lalu ia menyodorkan sebelah tangannya. Yang hanya ditatap bingung oleh Haechan.

"Uang" Mintanya singkat. Si sulung berdecak "Dasar bocah" dan memberikan beberapa lembar won.

"Haechan-ah" Yang dipanggil menoleh ke manager.
"Ikut hyung sebentar."

Di luar manager dan Haechan bersandar pada dinding, memandangi hamparan rumput dan tanaman rumah sakit. Keduanya masih terdiam hingga manager berbicara.

Sasaeng || Haechanحيث تعيش القصص. اكتشف الآن