03. Pilihan Imam

45.6K 4.8K 195
                                    

Happy reading

***

Liana menatap Hawa yang sedang membaca Al-Qur'an setelah melaksanakan salat Subuh. Suara perempuan bermukena itu sangat merdu didengar, membuat hati Liana merasakan ketenangan yang tidak pernah ia dapatkan selama ini.

Beruntungnya Liana bisa merasakan ketenangan itu sekarang, karena dulu dia tidak pernah mendengar orang membaca Al-Qur'an secara langsung. Bermain ponsel pun sangat jarang dia menelusuri hal-hal positif tersebut. Kehidupannya selalu dipantau oleh tantenya, yang jauh dari agama.

Namun, pandangan yang tadi fokus kepada Hawa, kini teralihkan karena beberapa kali nomor yang sama meneleponnya, tetapi Liana sengaja tak menyalakan nada dering itu. Dia tak mengangkatnya, walau sekadar mendengar makian dan kemarahan ibunya itu. Ibu yang hanya bisa berbohong, terus berbohong padanya.

"Andai Ibu benar-benar masih hidup, mungkin gue bahagia, ya, sekarang? Kenapa gue harus tinggal sama Tante yang mengaku sebagai Ibu?" gumam Liana sedih dengan helaan napas gusar.

Nomor yang terpampang di layar pipih itu terus menghubunginya, hingga Liana pun merasa muak. Dari tengah malam, nomor ibu yang kenyataannya adalah hanya adik dari ibu kandungnya itu terus menghubungi tanpa henti.

"Bye, Bu." Liana membuka kartu SIM dari ponselnya. Lalu mematahkan kartu tersebut dan dibuang ke tempat sampah yang ada di dalam kamar Hawa.

Liana tak mau lagi berhubungan dengan wanita gila itu. Wanita yang mengaku sebagai ibunya demi mendapatkan apa yang dia mau.

"Kamu harus kerja di kelab itu, Liana. Kamu mau jadi anak yang durhaka sama ibunya?"

"Kamu gak mau nurut sama Ibu? Surga ada di telapak kaki seorang ibu, Liana!"

"Kamu harus cepat ke kelab, ada tambahan dari bos kamu katanya. Nari yang bagus, kalau perlu ambil pelanggan yang banyak."

"Kamu gak mau kalau Ibu sengsara, 'kan?"

Semua kata-kata itu, entah mengapa selalu terngiang dalam ingatannya. Wanita yang selalu ia anggap sebagai ibu kandung, ternyata berhasil mengelabuinya dan menjebloskan dia ke lubang yang dalam.

Kenapa Ibu sejahat itu sama gue? batinnya pilu. Bahkan sampai sekarang Liana tak bisa menyebut kata 'tante' hanya karena sudah terbiasa memanggil 'ibu'.

Liana mengusap pipinya, di mana bulir bening sudah berjatuhan. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah Hawa lagi yang mendekat ke arahnya.

"Kamu kenapa nangis, Li?" tanya Hawa, yang langsung memeluk Liana. Liana pun menerima pelukan itu, dan tanpa rasa malu menangis di pelukan Hawa.

"Mbak, Allah mau nerima pendosa kayak saya gak, ya? Saya jauh banget dari Allah. Bahkan, kewajiban sebagai orang muslim pun gak pernah saya jalanin dari dulu," gumam Liana yang masih bisa didengar oleh Hawa.

Hawa mengelus-elus puncak kepala Liana. "Allah pasti menerima taubat hamba-Nya, Li. Justru bagus kalau kamu mau bertaubat."

"Dari kecil, saya gak pernah belajar Islam, Mbak. Bahkan, dulu cuma di sekolah dan setiap saya mau nerapin di rumah, Ibu selalu ngelarang. Dilakuin sembunyi-sembunyi pun tetap ketahuan dan malah dihukum," cerita Liana. Baru ini, Liana berani terbuka padahal mereka baru bertemu lima jam lalu.

Hawa kembali mengusap-usap puncak kepala Liana dan mengelus punggung gadis itu. Dia berkata, "Gapapa, Mbak bisa jadi pembimbing kamu. Atau ... kamu terima lamaran Imam yang milih kamu jadi istrinya juga boleh."

Seketika Liana mendongak.

***

Imam dan Hawa sudah sampai di rumah orang tua mereka. Kebetulan sekali hari ini pondok sedang diliburkan, jadi pastinya ummi dan abi Imam ada di rumah.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang