Epilog

44.9K 3.4K 1.1K
                                    

Happy reading

***

Sebulan kemudian, Liana membawa bunga di keranjang. Dia berjongkok di sebelah batu nisan itu, dengan bertuliskan nama orang yang paling dia sayang.

Tak ada yang bisa menghiasi rasa sedih itu, Liana sudah terlanjur perih, sendirian.

Sebulan menemani sang suami di rumah sakit, menunggu lelaki itu dan ternyata hasilnya hanya Allah yang tahu, lebih tepatnya dia tak mau tahu pada saat itu.

Liana menabur bunga itu ke tanah yang sudah merata. Sebulan, hanya dengan waktu segitu Liana baru bisa datang ke sini, menangis seorang diri dan tak tahu harus bersandar pada siapa, karena dia tak mau merepotkan siapa pun.

Hancur, hati Liana terasa hancur karena baru tahu bahwa setulus itu orang-orang di sekeliling dia menyayanginya.

"Maaf baru bisa menjenguk sekarang. Liana hanya berdoa yang terbaik. Liana juga gak bisa berharap lebih sama Allah," lirih Liana sembari memegang nisan dan menunduk.

Tanpa sadar bulir bening jatuh, membasahi cadar yang dipakainya. Ya, setelah sebulan lalu, Liana memutuskan untuk menutup diri, membiarkan tak ada satu orang pun yang tahu wajahnya, kecuali keluarga Imam.

"Rindu? Satu kata itu yang terus Liana rasakan. Liana benci dengan masa lalu. Andai waktu itu Liana aja yang mati, mungkin semua gak akan jadi begini," lirih Liana lagi.

Terlalu banyak kesedihan dalam dirinya. Entah itu tentang keluarganya, bahkan kepergian suaminya.

"Liana rindu Gus Imam, tapi Liana gak bisa maksain kehendak. Liana berusaha kuat, tapi Liana gak bisa, Liana begitu rapuh," kata Liana, seakan curhat pada nisan itu.

Liana memegangi perutnya. Ia berharap ada janin di dalam sana, tetapi sampai sekarang belum juga terisi. Bagaimana tidak? Suaminya saja sudah pergi. Pergi jauh meninggalkannya.

"Mungkin kalau ada anak, Liana gak sesepi ini kali, ya?" kekeh Liana pelan, terlalu pelan sampai hampir tak terdengar.

Liana mendongak sekilas, lalu mengusap air matanya yang jatuh dan membenarkan sedikit cadarnya. Serba hitam tengah dipakai Liana saat ini. Entah kenapa, sejak hari itu, Liana tak suka dengan warna cerah. Kalau tidak hitam, ya navy.

Kini tangannya merogoh sesuatu dari tas yang ia bawa. Kemudian, Liana mulai membaca surah-surah yang ada pada urutan tersebut, barulah Liana membaca Surah Yasin.

Mengirim doa untuk orang yang ada di hadapannya, yang sudah lama tak ia kirim doanya. Liana jadi merasa bersalah karena tak pernah kemari. Perempuan bercadar itu memang menunggu siap mental, barulah dia berani ke sini. Apalagi sekarang sendirian.

Ketika sudah sampai di ayat di mana terdapat Saktah, lagi-lagi Liana teringat memori itu. Memori bersama Imam yang tak akan pernah lepas dalam ingatannya. Lelaki yang sudah sabar menuntunnya ke jalan Allah, lelaki yang selalu ingin yang terbaik untuk Liana.

Definisi suami idaman ya Imam.

Beberapa menit setelah mengirimkan doa, Liana pun memasukkan buku Yasin itu kembali ke dalam tasnya. Dia mengusap pelan nisan tersebut dan tersenyum tipis di balik cadarnya.

"Lia akan sering-sering ke sini nanti, untuk mendoakan," ucapnya. Lalu beranjak dan pergi dari area pemakaman itu dengan hati yang sedikit lega karena sudah bertemu dengan orang yang paling Liana sayang.

***

Liana baru selesai salat Zuhur. Ia melipat mukena dan hanya memakai hijab instan panjang, lalu dilapisi oleh niqabnya. Setelah itu, dia berjalan menuju ruang keluarga yang nampak sepi karena semua sibuk mengajar.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now