30. Penantian yang Sia-sia?

35.7K 3K 224
                                    

Happy reading

***

Sudah seminggu sejak Imam tertembak, lelaki itu belum bangun juga dari tidurnya. Ibarat hidup segan mati tak mau, seperti menggambarkan Imam sekarang, apalagi Liana yang tampak begitu kurus. Berbeda dari sebelum Imam masuk rumah sakit.

"Lia? Makan, ya? Umi udah masakin ayam sambal sama bakwan kuah bumbu kacang. Mbak aja udah habis satu piring," tawar Hawa pada Liana.

Di ruangan ini ada Liana dan Hawa, serta Imam yang masih setia terbaring di brankar.

Liana menggeleng ditawar begitu. Dia sama sekali tidak mood untuk makan. Rasanya kalau belum mendengar kabar Imam sadar, Liana sama sekali tak minat lagi untuk makan. Kenyang, selalu itu yang ia rasakan. Hawa hanya tersenyum nanar sembari mengusap-usap bahu Liana.

Hawa juga tak bisa memaksa adik iparnya itu untuk makan.

"Oke deh, tapi nanti makan, ya? Kasihan Umi udah masak buat kita." Liana hanya mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya dari menatap Imam. "Mbak ada sesuatu buat kamu," kata Hawa setelahnya, yang berhasil mengalihkan perhatian perempuan berhijab putih itu.

"Sesuatu apa, Mbak?"

Hawa mengambil ponsel di saku gamisnya, lalu mencari video lama yang masih dia simpan. Di mana video tersebut adalah video ketika Imam mengikuti lomba ceramah, sekitar umur 13 tahun.

"Ini Imam pas masih MTS, waktu lomba di sekolahnya. Cita-citanya emang pengin jadi guru atau ustaz, tapi gak mau ngajar di ponpes Mbah, soalnya katanya gak mau jalur dalam. Masih banyak orang lain yang mau ngajar di ponpes Mbah," kata Hawa menjelaskan.

Sejak dulu, sekolah pun Imam tidak mau di pondok pesantren Kiai Sulaiman. Dia memilih sekolah lain hingga bisa terbang ke Yaman. Selain itu, Imam pernah ditawari Kiai Sulaiman untuk mengajar di pondok pesantren mereka, tapi tetap saja Imam menolak. Imam malah memilih untuk mengajar di MAN bekas tempatnya menimba ilmu.

Ponsel itu sudah dipegang oleh Liana, di mana perempuan itu tersenyum melihat suaminya saat kecil, begitu aktif berceramah. Andai mereka tak bertemu, mungkin sampai kapan pun Liana tak akan bisa mengenal Imam.

Di luar sana, banyak yang mengidam-idamkan Imam. Namun, hanya Liana yang bisa mencuri hati lelaki itu. Hanya melihat netranya, Imam bisa sejatuh itu dengan Liana.

Kalau diingat-ingat, memang agak konyol. Liana sama sekali tak menyangka jika alurnya malah seperti ini. Imam terlalu sempurna untuknya, tetapi Imam sudah menjadi miliknya.

"Kenapa nangis? Imam di situ lucu lho padahal," tanya Hawa, mengusap air mata di pipi Liana yang turun begitu saja. Jelas sedikit terkejut karena respons Liana. Hawa kira dengan memberikan video itu, Liana jadi senang. Namun malah membuat Liana semakin sedih.

Liana hanya menggeleng, tak sanggup melihat ceramah itu sampai akhir. Jika melihat wajah ceria Imam dalam video tersebut, Liana malah sedih. Sedih karena itu hanya sebuah video, bukan Imam yang sekarang.

Liana menyerahkan ponsel itu di mana Hawa memasukkannya kembali ke saku, memeluk Liana yang menangis sesegukan hanya karena melihat video tersebut.

"Maafin Mbak, ya? Mbak malah bikin kamu nangis. Padahal Mbak datang cuma pengin lihat senyum kamu, Lia," ucap Hawa, mengusap-usap kepala dan punggung Liana bergantian.

Posisinya Hawa berdiri di sebelah Liana, dan Liana duduk sembari memeluk Hawa dari samping.

Istri Imam itu menggeleng. "Ng-nggak, Mbak. Mbak s-sama sekali g-gak salah. Emang aku-nya aj-aja yang c-cengeng. A-aku kangen sama Gus Imam, Mbak," ucap Liana yang masih menangis.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now