05. Separah Ini?

38.2K 4.2K 184
                                    

Happy reading

***

Ning Zahro menatap nanar kepergian Gus Imam. Dua mobil telah keluar dari pekarangan rumah perempuan itu. Lukman hanya bisa mengelus bahu sang anak, karena dia juga tahu bagaimana perasaan anaknya.

"Kamu yang sabar, ya, Ro?" ucap sang abi.

Ning Zahro menoleh, lalu tetes demi tetes air matanya turun dari pelupuk mata. Perempuan itu melepaskan tangan Lukman yang tengah mengelus-elus bahunya. Kemudian, tanpa bisa menahan rasa sedihnya, Ning Zahro langsung berlari ke dalam rumah untuk menuju kamar.

Sesampainya di kamar, perempuan tersebut membanting tubuhnya ke kasur dan menangis menjadi-jadi di sana.

"Empat tahun, Gus. Empat tahun saya nunggu Gus," pekiknya, tetapi ia tahan menggunakan bantal yang menutupi mukanya.

Hijab yang dipakainya sudah basah karena tangisnya yang pecah. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu seseorang, terlebih ia diberi harapan bahwa setelah lelaki tersebut lulus, mereka akan dijodohkan.

Lagi pula, abinya juga meyakinkan dia bahwa Gus Imam pasti akan menerima perjodohan ini, mengingat keluarga mereka sudah sangat dekat. Namun nyatanya, lelaki tersebut telah menolak perjodohan ini dan akan menikah dengan perempuan lain.

Entah benar atau tidak nantinya akan menikah dengan perempuan yang tadi ada di mobil milik Zulaikha, Ning Zahro tidak tahu.

Beberapa menit perempuan itu menangis, kini dirinya duduk di tepi kasur. Membenarkan hijab yang sedikit berantakan, lalu memilih untuk ke suatu tempat. Tempat yang sering ia kunjungi jika dirinya merasakan kesedihan.

Berjalan sedikit lunglai, Ning Zahro keluar dari kamar. Bertepatan dengan itu, abinya baru saja akan ke kamar Ning Zahro untuk sekadar memberikan makan.

"Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Lukman.

"Biasalah, Bi," jawab Ning Zahro.

"Ke makan Ummi?"

"Iya. Makan siangnya tolong taro di nakas Zahro aja, Bi. Nanti habis dari makam baru Zahro makan," kata perempuan itu dengan nada dan raut wajar datar.

Lukman menghela napas. "Mau Abi antar?"

Ning Zahro menggeleng. "Gak usah, Bi. Zahro mau sendiri."

"Hati-hati, ya, Nak?"

Ning Zahro mengangguk. Lalu menyalimi tangan abinya untuk pamit dan pergi sesuai tempat tujuannya.

***

Ning Zahro sudah sampai di makam sang ummi. Senyuman terpaksanya sedikit mengembang, sembari membersihkan tanah-tanah yang menempel di batu nisan.

Semalam sempat hujan, jadi tanah sedikit basah dan ada yang menempel di nisan ummi Zahro.

Masih dengan senyum sedikit dipaksakan agar terlihat kuat, Ning Zahro bergumam, "Assalaamu'alaikum ahlad diyaari minal mu'miniina wal muslimiina wa innaa insyaa Allaahu bikum Laahiquun. As'alullaaha lanaa wa lakumul 'aafiyah."

Doa tersebut merupakan salah satu yang pernah Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam ajarkan kepada para sahabat ketika berziarah kubur, yang diriwayatkan oleh Buraidah Radiallahu 'Anhu. Arti dari doa yang baru saja Ning Zahro ucap, yaitu "Salam sejahtera semoga terlimpahkan atas kalian, wahai penghuni perkampungan orang-orang mukmin dan muslim, dan kami insyaallah akan menyusul kalian. Semoga Allah melimpahkan keselamatan kepada kami dan juga kepada kalian." (HR Muslim).

"Hari ini agak mendung, ya, Um? Sama kayak hati Zahro," gumam Zahro. "Ummi tahu? Hari ini berat banget kayaknya. Soalnya hari ini perjodohan yang udah didiskusiin sama keluarga Gus Imam, dibatalin sama Gus Imam-nya. Gus Imam bilang, Zahro terlalu sempurna buat dia. Padahal, kan, Zahro butuh dia sebagai imam di keluarga Zahro nantinya, Ummi."

Perempuan itu mengusap air matanya yang jatuh ke pipi.

Sebenarnya Ning Zahro bisa saja mencurahkan isi hatinya kepada sang abi, tetapi entah mengapa dia akan lebih tenang jika sudah bercerita lebih dulu di makam sang ummi, baru setelah itu bercerita lagi ke abinya.

"Gus Imam bilang, dia gak mau nyakitin Zahro setelah menikah, Um. Apa iya? Kan, belum dicoba, ya, Ummi," gumam Zahro lagi. Perempuan itu menghela napas kasar.

Kemudian, ditempelkannya pipi kanan Zahro ke batu nisan sang ummi, mengusap nisan dengan menggunakan tangan kiri, seperti tengah memeluk umminya itu.

Rasanya bermacam. Antara sedih ditinggal menikah, dan sedih karena Zahro tidak memiliki ummi dengan wujud nyata untuk menjadi teman curhatnya.

Bertahun-tahun hidup ini perempuan itu lalui bersama Lukman, hingga dewasa mengerti akan nama cinta, dan hingga dirinya harus merasakan sakit karena nama tersebut, nama cinta.

"Padahal, ya, Um, Zahro udah nyimpan rasa selama 4 tahun. Dari awal Zahro masuk MAN, Zahro udah jatuh hati sama Gus Imam. Apalagi pas Abi bilang kalau Mbah udah ngejodohin kami, tapi akhirnya malah begini. Zahro harus apa, Ummi?" gumam perempuan itu lagi, berbicara sendirian tanpa ada yang menyahut. "Apalagi setiap sore pulang dari MAN, kan, kita langsung ke pondok buat memperdalam ilmu agama. Zahro selalu curi-curi pandang dikit biar tahu Gus Imam lagi ngapain. Dikit doang, kok, Um. Iya, Zahro tahu itu salah. Tapi, ya ... udah terlanjur dan udah berlalu juga, 'kan, Ummi?"

Menghela napas untuk yang kesekian kalinya, kini entah mengapa kepala Zahro terasa pusing.

Perempuan itu pun memilih untuk bangkit, karena merasa cukup mencurahkan hatinya kepada sang ummi. Dia tersenyum tipis dan memejamkan matanya sebentar, lalu memilih untuk pergi dari sana. Namun, kakinya terasa lemas padahal sebentar lagi keluar makam.

"Aduh, kenapa pusing, ya?" Matanya dicoba untuk dipejamkan, lalu tanpa sengaja menatap matahari yang terik. "Perasaan tadi mendung. Sekarang cerah banget."

Karena kepalanya sudah terlalu pusing dan seperti ditusuk jarum, Ning Zahro sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan. Matanya jadi berkunang-kunang hingga tubuhnya benar-benar terjatuh ke tanah dan tak sadarkan diri.

***

Abi Zahro menatap sang anak dengan tatapan sendu. Sembari memijat pelan kaki anak semata wayangnya itu, lelaki tersebut bergumam, "Harusnya kamu makan dulu sebelum ke makam Ummi, Nak. Jadi gak kayak gini."

Kemudian melirik ke arah nakas, di mana terpampang jelas foto almarhumah sang istri di nakas Zahro itu. Zahro tidak pernah bertemu umminya, bahkan belum sempat berfoto bersama karena ummi Zahro meninggal setelah melahirkan dia.

Namun, Lukman selalu menenangkan Zahro setiap anaknya itu menyalahkan diri sendiri.

Zahro selalu berkata, "Ummi gak akan mati kalau Zahro gak lahir, Bi. Semua karena Zahro."

Abi Zahro dengan sabar menasihati bahwa ini semua sudah takdir keluarga mereka. Lagi pula, Lukman ikhlas jika harus kehilangan sang istri daripada kehilangan keduanya. Ning Zahro memiliki paras yang mirip seperti umminya. Setiap melihat Zahro, Lukman selalu merasa istrinya masih hidup. Jadi, jika abi Zahro itu sampai harus kehilangan anaknya, maka akan lebih menyakitkan lagi.

Beberapa kali, Zahro meminta maaf karena telah memisahkan sang abi dengan sang ummi, padahal bukan salah perempuan itu. Lagi pula, Lukman tidak pernah menyesal telah merawat dan membesarkan anaknya tanpa sang istri. Dia selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Allah.

Lelaki yang hampir menginjak kepala lima itu masih menatap lekat sang anak, yang belum juga bangun. Dikecupnya kening sang anak lalu dielus bahunya sekilas.

"Abi cuma bisa berdoa, semoga kamu dapat pendamping hidup yang lebih baik dari Gus Imam. Mungkin memang Gus Imam bukan lelaki yang tepat buat kamu, Nak."

[Bersambung]

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now