06. Menyayat Hati

38K 3.9K 309
                                    

Happy reading

***

"Dihabisin, Nak."

"Udah, Bi. Perut Zahro mual kalau banyak-banyak," ucap Zahro ketika Lukman menyodorkan sesendok makanan.

Lukman pun pada akhirnya mengalah, menaruh mangkuk tersebut ke nakas dan memberikan minum untuk sang anak. "Diminum sekalian obatnya, biar gak pusing lagi."

"Nggih, Bi."

Setelah Ning Zahro selesai meminum obat, dia menatap wajah sang abi yang terlihat begitu khawatir. Lukman mengelus puncak kepala anaknya yang tidak mengenakan hijab itu. Menatap penuh khawatir, karena pria itu pastinya tidak mau kehilangan sang anak, terlebih mereka hanya tinggal berdua.

Namun, hatinya masih terasa seperti tersayat setiap terngiang-ngiang perkataan Gus Imam yang menolaknya. Perempuan itu masih tidak bisa melupakan penolakan perjodohan pagi tadi.

Zahro jadi ingat saat sebelum kakeknya meninggal, kakeknya pernah berkata pada dia, dan hal itu paling Zahro tunggu-tunggu.

"Zahro suka sama Gus Imam?" tanya Kiai Salim, kakek dari Ning Zahro.

Zahro mengangguk malu-malu kala itu, sembari menjawab, "Suka, Mbah. Gus Imam itu lelaki idaman. Zahro beruntung bisa kenal dia. Sudahlah rajin ibadah, sayang orang tua, seorang hafiz, perempuan mana yang gak mengidam-idamkan sosok Gus Imam? Dari kecil juga Gus Imam selalu jaga diri. Bahkan sama Zahro gak terlalu dekat walaupun dulu sering berangkat ngaji bareng."

Zahro membayangkan dirinya menjadi istri dari seorang Gus Imam. Pasti akan sangat bahagia jika itu terjadi.

Kiai Salim tersenyum pada cucunya. "Memang, Mbah rasa kamu cocok sama dia. Mbah dan Kiai Sulaiman pernah bicara soal perjodohan kalian."

"Perjodohan?"

"Iya. Kiai Sulaiman sangat setuju kalau kalian menikah nanti. Kami akan menjalin hubungan saudara dan keluarga dari Gus Imam juga sudah setuju. Mereka tahu kalau kamu perempuan baik-baik, Nak Zahro." Kiai Salim mengelus puncak kepala cucunya yang tertutup oleh hijab.

Zahro tersenyum pada sang kakek. Kiai Salim dan Kiai Sulaiman memang sudah bersahabat sejak kecil, sampai mereka mendirikan pondok pesantren bersama. Namun, tak ada dari keturunan mereka yang mau mengajar di sana. Kebanyakan dari mereka malah memilih mengajar di tempat lain.

"Tapi Gus Imam mau ke Yaman, Mbah, melanjutkan kuliahnya di sana," kata Zahro sedikit sedih.

"Gak apa-apa. Kita bisa menunggu sampai Gus Imam kembali dan membahasnya."

Kata-kata itu berhasil membuat Zahro merasakan sakit di hatinya. Menunggu Imam kembali untuk membahas perjodohan, yang berakhir tertolak karena Imam sudah memiliki calon.

Apa yang spesial dari gadis itu? batin Zahro penuh tanya, fokus pada pikirannya. Ia merasa tak ada yang lebih baik daripada dirinya.

Dari mana Gus Imam mendapatkan gadis itu? tanya Zahro lagi dalam hati.

Selama ini, Zahro berdoa, terus melaksanakan perintah Allah, ikut menghafal ayat-ayat suci Allah karena ingin memantaskan diri dengan Imam. Dia belajar dan mengajar di sebuah MAN yang pernah mereka tempati untuk menuntut ilmu.

Namun apa yang Zahro terima? Dia sudah memantaskan diri, tetapi Imam malah memilih perempuan lain dan berkata kalau lelaki itu tak pantas menjadi pendamping hidupnya?

Sungguh, Zahro tak bisa mengelak bahwa ditolak mentah-mentah membuat hatinya tersayat.

Jadi selama ini hanya dia yang berdoa untuk Imam, tetapi tak ada timbal balik dari lelaki itu? Ibarat cinta bertepuk sebelah tangan, Zahro juga mendapat doa yang bertepuk sebelah tangan. Di langit sana, doanya sama sekali tidak disahut oleh Imam.

"Sudahlah, Zahro. Gak baik menangisi lelaki yang bukan mahram, hukumnya haram. Berdoa saja supaya kamu mendapatkan imam yang lebih baik dari cucu Kiai Sulaiman," kata abi Zahro yang melihat anaknya kembali menangis.

Sebagai ayah, ia juga tidak tega dan pastinya merasakan sakit yang sama. Dipeluklah anaknya itu, diusap-usap kepala Zahro dengan sayang. Membesarkan Zahro sendirian bukan suatu hal yang mudah, dan Lukman pastinya ingin memiliki menantu yang bisa menjaga dan mencintai anaknya sepenuh hati nanti.

Zahro masih menunduk, menangis dalam diam, walaupun abinya pasti mendengar tangis itu.

"T-tapi Zahro ingin Gus Imam yang jadi pendamping hidup Zahro, Bi. Gus Imam itu tipe Zahro, suami impian Zahro," lirih Zahro sedikit terbata.

Lukman hanya bisa menghela napas. Namun ia tak bisa melihat putrinya menangisi lelaki yang bahkan mungkin tak memikirkan dia sekarang.

"Percayalah, Zahro. Rencana Allah akan jauh lebih indah dari yang kamu harapkan, Nak. Gus Imam memang sempurna, dia suami idaman para perempuan. Tapi bukan berarti dia jodohmu," kata abi Zahro berusaha memberi pengertian pada anaknya, bahwa lelaki di dunia ini bukan hanya Imam.

"Dulu Abi sama almarhumah Ummi sahabat kecil juga, 'kan? Mbah juga yang menjodohkan. Abi dan umminya Gus Imam juga menikah karena dijodohkan Kiai Sulaiman, 'kan? Itu gak masalah, bahkan bisa jadi keluarga bahagia."

"Tapi, Zahro. Kalau kami beda sama kamu. Abi dan Ummi dijodohkan karena memang kami menjalankan ta'aruf saat itu. Mbah dan orang tua ummimu yang menjadi perantara kami, hingga kami diberi restu. Kalau kamu berbeda, kalian gak pernah mengutarakan perasaan masing-masing. Mungkin kamu iya menyukai Gus Imam dan menerima perjodohan ini. Tapi Gus Imam? Abi belum pernah mendapat jawaban dari Ustaz Farhan mengenai perasaan Gus Imam terhadap kamu. Ustaz Farhan selalu bilang untuk menunggu sampai Gus Imam balik dari Yaman. Maaf, maafin Abi yang selalu ngeyakinin kamu kalau Gus Imam pasti memilihmu, Nak. Rasanya pasti sakit," ucap Lukman.

Sakit, sangat sakit. Ternyata sepertiga malamnya sia-sia.

Benar apa kata abinya, mereka tidak pernah mengutarakan perasaan satu sama lain walaupun dengan perantara orang tua. Bahkan setiap Zahro bercerita pada kedua kakak Imam, yakni Zulaikha dan Hawa, dia tak mendapatkan apa-apa. Tanda-tanda kalau Imam menyukainya saja tidak.

Informasi yang selalu gadis itu dapatkan hanyalah ... Imam tak pernah tahu siapa jodohnya, dan dia ingin fokus terlebih dahulu pada kuliahnya di Yaman.

Ternyata setelah kembali dari Yaman, Imam malah membawa perempuan lain yang diklaim sebagai calon istrinya.

Lama menangis, akhirnya Zahro mengusap jejak air mata itu dan mengembuskan napasnya lelah. Kini Ning Zahro melepaskan pelukannya dari sang abi karena dirasa cukup.

Baju yang dikenakan Lukman sudah basah karena tangis sang anak, walau hal tersebut sama sekali tidak masalah. Yang terpenting Zahro tidak lagi diam dan mau menceritakan isi hati padanya. Walau Lukman tahu tidak semua bisa diceritakan anaknya kepada dia.

Pria itu mengusap-usap pelan puncak kepala Zahro.

"Jangan dipikirkan lagi, ya? Mungkin jodohmu bukan Gus Imam, dan Abi yakin jodohmu lebih baik dari Gus Imam," kata abi Zahro dengan senyuman khasnya.

Namun, Ning Zahro malah menggeleng kecil. "Tapi Zahro cinta dengan Gus Imam, Bi. Zahro gak masalah dimadu."

Abi Zahro pun sontak mengerutkan dahinya. "Dimadu?"

[Bersambung]

Alhamdulillah, terima kasih banyak buat kalian yang udah mau baca sampai chapter ini, huaaa, bersyukur banget dan bikin semangat.

Jangan lupa buat selalu bersyukur ya, manteman. Dan tinggalkan jejak untuk membantu aku memperbaiki tulisan yang banyak kurangnya ini.

Semoga sehat selalu kalian ....

***See you next chapter***

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now