22. Disiksa Tanpa Ampun

28K 2.8K 73
                                    

Happy reading

***

"Liana Ramadhania, keberuntunganmu telah gugur."

"I-ibu?" lirih Liana. Bahkan setelah dijambak, Liana masih bisa menggumamkan kata 'ibu' untuk tantenya itu. Kalau orang lain mungkin sudah berkata kasar.

"Kenapa, Sayang? Kok mukanya kaget gitu." Tantenya Liana menatap dengan sorot tajam, ditambah senyum smirk yang kelihatan menyeramkan.

Seketika bayangan beberapa belas tahun silam muncul dalam benak Liana, di mana dia saat itu masih bahagia-bahagianya diurus oleh tantenya ini, di mana dia masih menjadi gadis kecil yang tak tahu apa-apa, sebelum semua berubah drastis.

Rasa amis sangat mendominasi bibir Liana saat ini. Ia tak sengaja menelan darah yang keluar dari bibir yang digigitnya sendiri. Mengapa Liana melakukan itu? Itu karena Liana tak mau terlihat lemah di depan tantenya.

Liana berusaha untuk tetap bicara dan terlihat baik-baik saja. Maka dari itu dia menggigit bibir bawah, supaya suara tangisnya tidak begitu terdengar. Namun apa boleh buat? Liana tak bisa melakukannya. Ia akan terus terlihat lemah di depan mata tantenya.

"Ibu, lepasin Liana! Liana mau pulang," lirih Liana memohon pada tantenya.

"Pulang? Rumahmu di sini, Lia!" pekik perempuan itu yang melepaskan jambakannya serta cengkeraman pada pipi Liana. Dia memilih berdiri dan meredam emosi sementara.

Ya, dia harus bisa meredam itu sampai benar-benar bisa ditumpahkan untuk menyakiti Liana. Balas dendam karena anak itu sudah berani kabur dan memilih hidup baru tanpa dia, di mana dia selalu diteror oleh orang yang membeli Liana.

Maka pada kesempatan ini, tantenya bahkan tidak mau menyia-nyiakannya. Dia akan membuat pelajaran penuh terhadap Liana.

"Nggak! Rumah Lia di rumah suami Lia. Di sini itu neraka buat Lia!" teriak Liana. Dia baru sadar, dia baru sadar kalau ternyata ini adalah gudang yang berada di rumah tantenya.

Gudang ini sudah lama tak terpakai memang, dan jika Liana membuat kesalahan, pastinya akan dikurung di gudang ini. Dia pasti akan tidak diberi makan. Liana sudah terbiasa, dan dia merasakannya lagi sekarang, setelah tinggal di rumah ternyaman menurutnya, yaitu rumah yang ia tempati bersama Imam.

Ya Allah, kumohon kirim seseorang untuk menolongku. Aku belum siap mati, aku masih ingin berhijrah dan lebih mengenal-Mu, batin Liana sendu.

Melihat tantenya meminta sesuatu pada salah satu dari tiga orang itu, sukses membuat mata Liana semakin membelalak. Tante Liana kembali berjongkok, lalu mendongakkan wajah Liana, dicengkeramnnya keras hingga meninggalkan luka pada pipi mulus itu.

Dua cakaran kanan-kiri tante Liana lakukan, membuat keponakannya itu meringis kesakitan.

"Ah, sakit, Bu," kata Liana ketika tantenya semakin menusuk pipi itu hingga berdarah, karena kebetulan kukunya sedang panjang.

"Sakit, hm? Ini belum seberapa." Perempuan yang sudah dianggap sebagai ibu oleh Liana itu berdiri. "Angkat dia, buat dia berdiri!" perintah tante Liana pada dua pria berbadan besar yang ada di sana, yang tak lain adalah bodyguard pria yang membeli Liana.

"Setelah saya menyiksanya, kamu boleh membawa dia dan lunasi segera. Saya percaya kamu akan melunasinya," ucap tante Liana pada pria di sebelahnya.

Cambuk. Benda itulah yang tengah dipegang oleh tante Liana. Liana menggeleng kecil, memohon supaya tantenya itu tidak melakukan hal tersebut. Air matanya sudah turun dengan derasnya.

"Jangan, Bu," lirih Liana ketika dipaksa bangun oleh dua pria besar itu.

Tubuhnya diputar paksa hingga memunggungi tante dan pria yang berdiri di sebelah tantenya.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now