23. Belum Ketemu Juga

25.2K 2.7K 26
                                    

Happy reading

***

Imam sudah berkali-kali menelpon sopir taksi yang pernah menjemputnya dari bandara itu. Namun, sama sekali tak ada jawaban dan selalu terdengar nada sambung saja tetapi tidak diangkat.

Imam, Hawa, dan Zahro baru saja selesai salat Maghrib di salah satu masjid di jalan. Mereka sempat pulang untuk bersih-bersih, lalu mulai mencari lagi pada pukul setengah enam sore. Kini ketiganya tengah berada di mobil yang entah dijalankan oleh Ning Zahro ke mana. Mereka benar-benar tak memiliki tujuan apa pun.

"Kamu beneran gak ingat jalannya, Gus?" tanya Ning Zahro yang kini menepikan mobilnya, ia bertanya tanpa menoleh ke arah Gus Imam.

Dari belakang, Gus Imam menggeleng. Dia menghela napas gusar karena sudah berulang kali menelpon si sopir tapi belum diangkat juga. "Gak, Ning. Posisinya saya lagi main HP saat itu, gak merhatiin jalan. Lagian sepi dan gelap, mana saya perhatikan. Tadi aja kita salah jalan dan malah apes ketemu preman."

"Terus gimana?"

"Coba telpon lagi, Mam. Mungkin emang lagi gak pegang HP aja. Telpon sampe diangkat. Daripada kita nyasar nanti," kata Hawa yang jelas diangguki Imam. Mereka semua khawatir. Khawatir kalau sampai terjadi sesuatu pada Liana.

Imam, sama sekali belum siap untuk kehilangan cinta pertamanya. Dia belum siap untuk kehilangan sinar dalam hidupnya.

Seketika lelaki itu teringat kejadian di mana Imam menjelaskan mengenai aurat yang begitu penting untuk setiap muslim ataupun muslimah.

Saat itu, Gus Imam dan Liana baru saja menyelesaikan salat Subuh. Gus Imam baru pulang dari masjid, dan Liana baru selesai salat sendiri di rumah.

Di situ posisinya Liana sudah melepas mukena, dan akan memasak untuk sarapan. Namun, Gus Imam meminta untuk mereka mengobrol berdua di kamar sebelum istrinya itu melakukan urusan dapur.

"Ya habibati?" panggil Gus Imam. "Sini duduk sebentar. Saya mau bicara," ucapnya lembut sembari menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya itu, di ranjang tidur mereka.

"Kenapa, Gus?" Liana mendekat, lalu duduk di sebelah suaminya.

Gus Imam tersenyum, memperhatikan setiap inchi wajah cantik istrinya. Betapa beruntungnya Gus Imam memiliki istri cantik dan penurut seperti Liana.

"Kamu belum mulai pakai hijab, hm?" tanya Gus Imam yang masih merendahkan suaranya, bukan mengintimidasi Liana. Ya, lebih tepatnya bicara baik-baik pada perempuan itu.

Liana menunduk, lalu menggeleng. Rambutnya menjuntai ke bawah, membuat Gus Imam sulit untuk melihat wajah cantik itu. Gus Imam pun akhirnya menarik wajah Liana untuk mendongak, menatapnya dan tersenyum manis tanpa ada kata luntur.

"Kenapa murung gitu, hm? Apa saya sudah menyakiti hati kamu?"

Liana menggeleng. Ia menatap Gus Imam yang juga menatapnya, dan Gus Imam menyelipkan anak rambut Liana ke belakang telinga, menangkup pipi itu dengan kedua tangannya.

"Saya takut Gus malu punya istri kayak saya," ucap Liana kemudian.

"Lho? Kenapa malu?"

"Ya, karena saya belum siap berhijab? Kalau Gus bawa saya jalan-jalan, pasti orang-orang banyak yang natap saya rendah." Lagi-lagi Liana menunduk. Hal itu kembali menggerakkan Imam untuk mengangkat pipi istrinya.

Satu kecupan ia berikan pada bibir sang istri, yang membuat perempuan itu membelalak. Ini masih pagi, dan suaminya itu malah membuat jantung Liana berdegup kencang.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now