18. Pergi Bersama Ning Zahro

31.4K 3.2K 109
                                    

Happy reading

***

"Saya terima nikah dan kawinnya, Habibah Azzahro binti Lukman dengan mas kawin tersebut, tunai," ucap Imam dengan lantang.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

"Tidak sah!"

Seketika Hawa yang duduk di sebelah Liana pun mengerutkan keningnya heran. "Apanya yang gak sah?"

Liana pun menoleh. Ia memukuli kepalanya yang terus terngiang-ngiang pada kalimat sakral itu. Kalimat yang tiba-tiba saja datang ke alam mimpinya semalam, sampai-sampai Liana kepikiran sekarang. Melamunkan hal yang sebenarnya tidak tahu akan jadi nyata atau tidak.

Ya, semalam Liana mimpi Imam menikah lagi dengan Ning Zahro, dan kalimat-kalimat itu serasa nyata didengar hingga sekarang. Entahlah, kenapa Liana harus memikirkan hal tersebut.

"Kamu kenapa, sih? Ngelamun terus. Buruan siap-siap, keburu Ning Zahro datang nanti kamu belum siap lagi," kata Hawa pada Liana yang masih memasang wajah bingungnya. "Ini jangan dililit, dipenitiin nih di sini."

Hawa menunjukkan cara memakai kerudung segitiga panjang itu dengan benar. Bukan dengan dililit ke belakang leher lalu diikat, tetapi dengan diberi peniti di pundak, atau di tengah dada supaya menutupi auratnya.

"Mbak?"

"Dalem?"

"Menurut Mbak, normal gak sih kalau mikirin mimpi?" tanya Liana. Hawa baru saja selesai memberi peniti itu di kerudung Liana. Hawa memang sengaja datang pagi-pagi hari ini untuk membantu Liana yang katanya akan mulai untuk berhijab.

Imam sudah berangkat ke sekolah sejak tadi, padahal masih pagi. Katanya sih akan mengoreksi buku terlebih dahulu, makanya lelaki itu berangkat lebih pagi.

"Maksud kamu?" tanya Hawa tidak mengerti.

"Ya, ngerasa mimpi itu kayak nyata, sampai-sampai kepikiran gitu," balas Liana, menyampirkan tas selempang di bahunya.

"Kalo mimpi kayak nyata sih, Mbak pernah," kata perempuan dengan kerudung hitam panjang itu. "Tapi kalo sampe kepikiran kayaknya gak pernah. Lagian mimpi itu bunga tidur, gak mungkin sampai ke kenyataan, kecuali terlalu mikirin sesuatu di kenyataan dan kebawa sampai mimpi. Kenapa memangnya?"

Hawa menatap manik Liana yang kelihatannya gelisah. Liana pun menjawab, "Gak apa-apa, sih. Lia cuma mau nanya aja."

"Assalamualaikum."

Tak terasa Ning Zahro sudah datang untuk menjemput Liana. Perempuan itu mengetuk beberapa kali pintu rumah orang tua Imam dan tak butuh waktu lama untuk membuat orang rumah membukakan pintu.

Pertama yang Ning Zahro lihat adalah Liana yang cantik memakai kerudung panjang dengan gamis yang hampir senada dengan yang dipakai Ning Zahro.

Masyaa Allah, batin Ning Zahro terkagum melihat penampilan itu, karena sebelumnya dia tak pernah melihat Liana memakai hijab apalagi panjangnya sampai seperut.

"Waalaikumsalam." Liana membalasnya dan Hawa menghampiri mereka, dengan menjawab salam juga.

"Mau langsung jalan sekarang, Ning?" tanya Hawa yang kini merangkul adik ipar. Ning Zahro yang melihat itu merasakan kecemburuan karena ia tak bisa memiliki ipar seperti Hawa.

"Iya, Mbak. Kalau baru buka biasanya masih sepi, jadi enak buat milih-milih," jawab Ning Zahro dengan senyuman manisnya.

"Ya udah kalau begitu. Mbak juga mau berangkat ke MTS, tinggal sepuluh menit lagi. Kalian hati-hati, ya?" ucap Hawa sekaligus memberikan pesan pada keduanya.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang