28. Belum Berakhir

27.8K 2.9K 27
                                    

Happy reading

***

"Mau apa kamu ke sini? Mau menertawakan saya, iya?"

Liana menggeleng. Sudah tiga puluh detik dia duduk berhadapan dengan ibunya, lebih tepatnya sang tante. Bibirnya terasa kelu hanya sekadar menanyakan kabar wanita itu, wanita yang sudah mengurusnya dari kecil.

"Lia gak bakalan ngetawain Ibu, apalagi--"

"Gak usah panggil saya dengan sebutan itu. Kamu udah tahu 'kan kalau saya bukan ibu kamu?"

Liana mengangguk kecil. Perempuan dengan pakaian serba hitam, serta hijab panjang menutup dada berwarna hitam itu memajukan sedikit kursinya. Mereka berhadapan, tetapi terhalang oleh meja.

Perempuan berhijab itu berusaha meraih tangan tantenya dan itu tak ada perlawanan sama sekali dari tantenya ketika Liana sudah menggenggam tangan tersebut.

"Maaf. Maafkan Liana semisal Liana ada salah. Maafkan juga kedua orang tua Liana, Bu. Dan Liana banyak berterima kasih sama Ibu karena sudah membesarkan Liana. Liana bersyukur bisa hidup karena Ibu," ucap Liana yang sudah meneteskan air matanya.

Tantenya itu hanya diam tanpa kata. Ia jadi membayangkan bagaimana dia dulu yang membesarkan Liana seorang diri hingga perempuan itu bisa sebesar ini.

"Lia mohon, Ibu bertaubat, ya? Mohon ampun sama Allah atas perbuatan Ibu selama ini," lanjut Liana, yang di mana tangannya langsung disentak dan terlepas begitu saja genggaman mereka.

Tante Liana menatapnya tajam, dan Liana menghapus jejak air matanya. "Kalau kamu ke sini cuma mau nyeramahin saya, mending gak usah datang. Saya kira kamu mau bebasin saya."

"Bu, harusnya Ibu sadar. Harusnya Ibu bersyukur karena gak dihukum mati. Selagi dikasih waktu sama Allah, bertaubat ya, Bu?" pinta Liana. Dia juga ingin ibunya mengenal Allah.

"Gak mau. Kamu aja masih gak paham apa arti agama sebenarnya," balas tante Liana cuek, bersedekap dada dengan sombongnya.

Liana menggeleng. Walaupun dia masih baru, setidaknya dia mau mengenal Allah lebih jauh. Setidaknya Liana mau berubah, dan setidaknya dia mau tantenya itu ikut ke jalan yang benar bersamanya.

"Bu, Allah itu Maha Pemaaf. Allah gak pernah kasih masalah melebihi kemampuan hamba-Nya. Istighfar, Bu...."

"Mentang-mentang kamu udah paham, jadi kamu menggurui saya. Iya?"

Astaghfirullah.

Liana kembali meraih tangan tantenya, tetapi ditepis begitu saja. Baru juga Liana akan mengatakan sesuatu, seorang polwan datang dan berkata kalau Liana sudah habis untuk menjenguk tantenya. Pihak mereka juga mau melanjutkan urusan dengan tante Liana menuju tahap selanjutnya sebelum benar-benar masuk sel, dan Liana sama sekali tak diizinkan oleh tantenya untuk mendampingi wanita itu.

"Bertaubat, Bu...," lirih Liana di akhir kata, sebelum beranjak dan pergi dari sana.

***

Lagi dan lagi, sudah hari keempat, Liana hanya bisa memandang tubuh yang terbujur kaku itu. Imam, sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda untuk sadar, membuat Liana terus berharap pada Allah.

Mata itu masih saja terpejam, tanpa bisa mengalihkan pandangan Liana yang setiap harinya terus menatap kelopak mata yang tertutup itu.

"Andai Gus sadar, saya pasti akan jadi perempuan paling bahagia karena bisa mengucapkan kata terima kasih langsung. Gus, kalau sakit bagi-bagi, ya? Jangan ditanggung sendirian," lirih Liana yang berusaha menahan tangisnya.

Cinta Suci Gus Imam || New VersionWhere stories live. Discover now