[1] Tidak direstui

3.8K 286 420
                                    


Jangan lupa follow akun sebelum membaca Abyylatte_
Akun IG: wp.abyylatte_

TINGGALKAN VOTE DAN KOMEN YA MOMOL!

Seorang gadis cantik sedang asyik memainkan gelas wine-nya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seorang gadis cantik sedang asyik memainkan gelas wine-nya. Mata indahnya yang dihiasi oleh bulu mata lentik menatap orang di sekitarnya, sambil berjoget riang. Bahkan, beberapa orang tidak segan untuk berciuman di atas panggung seperti yang terjadi saat ini. Di tangannya, terdapat segelas wine, minuman favorit yang selalu menemaninya setiap malam.

Alesya menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun nakal, ia masih tahu batas. Meskipun ia tahu tentang berciuman dari drakor yang sering ditontonnya, namun ia tidak pernah merasakannya.

Tiba-tiba, Alesya tersentak saat seseorang merangkul pinggangnya dari samping. Ia menoleh dan mendapati ciuman singkat mendarat di hidungnya. “Ngagetin aja kamu,” ucap Alesya.

“Kenapa, hm? Kok murung aja sayang?” tanya cowok jangkung itu seraya mengelus pinggang ramping Alesya.

Alesya menghela napas. “Aku kesal aja sama orang rumah, Ar,” jawabnya sambil menatap kembali ke depan.

“Kesal kenapa, sayang?”

“Aku kesal kena marah terus sama mereka.”

“Kamu itu dinasehati, sayang, bukan dimarahi.”

Alesya mengerucutkan bibirnya. Banyak hal yang tidak disukai Alesya di rumahnya. Setiap subuh, sang bunda selalu membangunkannya hanya untuk sholat subuh. Baginya, hal itu sangat menyebalkan, namun ia tidak berani protes.

Alesya tidak suka diatur, apalagi disuruh untuk salat. Bahkan, memakai mukena saja ia tidak bisa. Baginya, salat hanya membuang waktu.

Banyak pertanyaan yang belum terjawab bagi Alesya, terutama tentang agama. Apakah setiap makhluk hidup harus memiliki agama? Jika diberi pilihan, Alesya lebih memilih untuk tidak memiliki agama. Baginya, aturan dalam agama terlalu ribet dan mengganggu. Alesya tidak percaya pada hal yang tidak nyata, termasuk Tuhan. Bagi Alesya, jika tidak bisa melihat langsung, ia tidak akan pernah percaya bahwa Tuhan itu ada.

Bahkan, seseorang yang mengaku mempunyai agama sekali pun, sering melanggar aturan agamanya sendiri.

“Ya, tetap saja aku kesal!”

“Pasti kamu melakukan kesalahan kan makanya kamu dinasehati lagi?” tanya Arvan seraya meminum minumannya.

“Ih, nggak kok, aku nggak buat masalah lagi, aku cuma matahin tangan anak orang saja kok!” bela Alesya.

Arvan mengangguk, tangannya mengelus rambut Alesya. Memang sudah biasa baginya mendengarkan cerita kekasihnya yang terkadang tidak masuk akal. “Yaudah, nggak usah dipikirin lagi, ya.”

“Ck! Kamu bilang gitu terus, dahlah, awas sana, aku mau pulang!” kesal Alesya menepis kasar tangan Arvan dan berjalan keluar dari club.

“Sabar, Van. Cowok selalu salah,” gumam Arvan berdiri dan menyusul Alesya.

“Aku antar ya,” ujar Arvan menahan tangan Alesya.

Alesya menggeleng. “Aku pulang sendiri aja, kalau bareng kamu, nanti kamu pasti bakal dimarahi sama Ayah,” jawab Alesya dengan nada ketus. Masih sedikit kesal dengan Arvan.

“Nggak papa, sebentar.” Arvan pergi ke arah parkiran dan mengambil motor ninjanya yang diparkir di sana.

“Naik, sayang,” suruh Arvan setelah memakaikan helm pada kepala Alesya.
Alesya mengernyitkan dahi. “Motor aku?”

“Aman, nanti aku bakal minta teman aku untuk menjemput motor kamu, sekarang naik, biar aku antar pulang.”

Alesya menurut dan naik ke atas motor Arvan. Setelah keduanya duduk dengan nyaman, Arvan menjalankan motornya.

“Arvan,” panggil Alesya seraya memeluk pinggang Arvan.

“Kenapa, sayang?” tanya Arvan sambil mengelus tangan Alesya yang melingkari pinggangnya.

“Maafin Ayah ya, selalu marah-marah sama kamu,” ucap Alesya dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca.

Setiap kali Arvan mengantar atau menjemput Alesya, pasti Alven akan marah dan menyuruh Arvan pulang lagi. Meskipun kedua orang tua Alesya tahu bahwa Alesya pacaran dengan Arvan, namun mereka tidak pernah menyetujuinya, bahkan tidak merestui hubungan keduanya. Entah apa alasan yang jelas kedua orang tua Alesya melarang, Alesya pun tidak tahu.

Arvan tersenyum tipis. “Udah nggak papa, jangan terlalu dipikirkan.”

“Heem ... iya, makasih udah ngertiin dan bertahan selama ini sama aku, Ar.”

“Seperti yang udah aku bilang sebelumnya, menerima kamu juga berarti menerima sikap Ayah kamu ke aku, jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, cantik,” jelas Arvan.

Alesya memeluk erat Arvan. Ia tidak salah memilih kekasih, karena Arvan adalah tipe cowok yang pengertian, penyayang, bahkan tidak pernah membentaknya. Mungkin hanya sesekali.

Setelah 20 menit, keduanya akhirnya sampai di depan rumah yang bergayakan Eropa.

“Kamu mau mam—”

“Ke mana saja jam segini baru pulang, Alesya?” sela sebuah suara membuat tubuh Alesya membeku.

Alesya membalikkan tubuhnya dan menunduk. “A-ayah,” gugup Alesya.
“A-ayah, Ale habis dari—”

“Masuk,” suruh Alven dengan dingin.

Mahessa Malvendra, Ayah dari Alesya, seorang pengusaha yang telah merintis bisnisnya selama bertahun-tahun. Bisnisnya selalu naik dan berkembang pesatnya, sehingga tidak heran jika Alesya telah menikmati kehidupan yang nyaman sejak kecil.

“Tapi, Yah—”

“Kamu tidak paham bahasa Indonesia, Alesya Monzha Alvendra?” tegur Alven.

“Iya, Yah,” balas Alesya pasrah masuk ke dalam.

Baru melangkahkan kaki masuk, Alesya sudah dipeluk oleh sang bunda.

Mizhaela Alvendra, ibu dari Alesya, memiliki usaha butik yang telah memiliki cabang ke-10 di berbagai daerah. Tujuan membuka butik hanya karena kebosanan semata.

“Ale dari mana saja sayang, Ayah dan Bunda menunggumu dari tadi.”

Alesya menunduk. “Maaf sudah membuat Ayah dan Bunda khawatir.”

Mizha mengusap lembut surai putrinya. “Tidak apa-apa, sekarang masuk kamar dan siap-siap tidur ya.”

Alesya menggeleng cepat dan menggenggam tangan bundanya. “Tunggu sebentar, Bun. Ale mau lihat apa yang Ayah lakukan pada Arvan,” balas Alesya dengan mata memelas.

Mizha menggeleng, memberi kode bahwa 'tidak boleh'. Seharusnya tidak perlu dijelaskan, Alesya tahu betapa keras kepala sang ayah. Lebih tepatnya, tidak bisa dibantah.

“Ale Cuma pingin lihat, Bun, janji nggak bakal ikut campur.” Sekali lagi Alesya mencoba membujuk.

Mizha menghela napas. “Baiklah.”

“Makasih, Bunda sayang!” Alesya mencium pipi sang bunda dan berjalan mengintip dari jendela.

“Punya apa kamu masih berani pacaran dengan anak saya?” tanya Alven masih mempertahankan sikap dingin dan wajah datarnya.

“Om, kenapa Om tidak pernah merestui hubungan saya dengan Ale?” Arvan bertanya balik.

“Saya bertanya, kamu tidak usah balik bertanya,” balas Alven jengkel.

Arvan menghela napas. “Saya mencintai anak Om.”

“Itu bisa didapat putri saya dari laki-laki yang lebih baik dari kamu.”

“Saya juga memiliki harta, Om. Saya masih SMA tapi sudah mencoba membangun perusahaan.” Arvan kembali mencoba meyakinkan hati Alven, namun tidak mudah. “Saya jamin, Alesya tidak akan kesulitan jika bersama saya nanti,” lanjutnya.

“Harta? Bahkan saya sebagai Ayahnya bisa memberikan itu semua.”

“Om ... mau Om apa? Kenapa Om tidak suka saya dan Alesya?”

“Jauhkan dan tinggalkan putri saya,” balas Alven tegas.

Deg!
Arvan terdiam sebentar. “Om, saya tidak bisa, saya menyayangi—”

“Cowok seharusnya menjaga dari jauh jika dia benar-benar cinta dan sayang, bukan mengajak berpacaran. Kamu Islam, bukan? Seharusnya kamu tahu tentang larangan dalam berpacaran.”

“Setiap orang memiliki cara sendiri untuk menjaga, Om. Dan ini cara saya, saya benar-benar tulus mencintai Alesya.”

“Memang setiap orang memiliki cara sendiri untuk menjaga, namun seharusnya kamu tahu bahwa cara kamu salah,” balas Alven. Ia terus menyangkal ucapan Arvan, membuat cowok itu bingung harus menjawab apa.

“Tapi Om ....”

“Saya akan menjodohkan putri saya dengan laki-laki yang lebih baik dari kamu, jadi tolong tinggalkan putri saya dan jangan ganggu dia.”

“Ha? Om nggak bisa dong ngambil keputusan seperti itu, Alesya tidak mau putus dari saya begitu juga sebaliknya, kami saling mencintai, Om tidak bisa memaksakan kehendak seperti itu.”

“Saya akan memaksakan kehendak saya jika itu yang terbaik untuk putri saya, kamu mengerti? Sekarang silahkan pulang,” usir Alven dengan halus.

“Om, tapi—”
“Pulang, saya bilang.”

Arvan menghela napas panjang. “Baik saya pulang, Om, Assalamu’alaikum.” Arvan pun pergi dari sana.

“Wa’alaikumussalam.” Alven masuk ke dalam rumahnya. Baru sebentar masuk, Alesya sudah menghadangnya di depan pintu.

“Ayah, apa-apaan sih?! Kenapa bilang kaya gitu sama Arvan? Ale nggak suka Ayah nyuruh Arvan ninggalin Ale!” bentak Alesya sambil air mata perlahan mengalir di pipinya.

Alven hanya diam menatap Alesya.
“Ayah, jangan egois dong! Dan tadi? Ayah, tolong berhenti menjodohkan Ale! Ale bisa memilih sendiri! Berhenti ikut campur urusan Ale! Ale udah besar, Ayah!”

“Ale jaga nada bicaramu, sayang, dia Ayah kamu,” ujar Mizha lembut menarik tangan putrinya agar tidak meluapkan emosi lebih jauh kepada sang ayah.

Alesya menyentak tangan Mizha. “Bunda juga sama aja! Kenapa kalian nggak pernah ngertiin Ale!?”

“Turunkan nada bicaramu, Alesya, dia Bunda kamu!” bentak Alven.

“Arghh! Ale benci kalian!” tangis Alesya semakin deras, dan dengan cepat ia berlari masuk ke dalam kamar.

Alven memijat pangkal hidungnya pelan. “Urusi dia, capek aku.”

Mizha tersenyum lalu mengusap lengan suaminya lembut. “Iya, kamu sabar ya menghadapi Alesya, dia Cuma butuh sedikit bantuan, jangan menyerah dalam membimbingnya.”

Alven tersenyum dan mengusap puncak kepala Mizha lembut. “Iya, maaf aku tadi emosi. Sekarang, tolong temui dia, bicaralah dari hati ke hati, aku yakin dia akan mengerti.”

Mizha mengangguk dan berjalan menuju tangga menuju lantai dua. Setelah sampai, ia mengetuk pintu kamar Alesya.

“Bunda boleh masuk?” Merasa tidak mendapat jawaban, Mizha membuka pintu berwarna putih itu. Matanya langsung menangkap Alesya yang menangis sesenggukan di atas kasurnya.

Mizha mendekat dan duduk di samping putrinya. Tangannya terangkat mengusap surai hitam milik Alesya. “Jangan nangis, sayang, Bunda di sini.”

Alesya mengangkat pandangannya, tanpa pikir panjang ia langsung memeluk erat sang bunda. Tangisnya semakin pecah.

“Bunda, maafkan Ale, Ale nggak bermaksud bentak Bunda dan Ayah,” lirih Alesya sambil mengeratkan pelukannya.

Alesya bukanlah tipe anak yang mudah meninggikan suara kepada orang tuanya. Jadi, saat membentak kedua orang tuanya, rasa sesak langsung menyeruak di dadanya.

“Iya, nggak apa-apa, jangan nangis, ya, ceritakan saja apa yang terjadi pada Bunda, jangan malah bentak Ayahmu,” bisik Mizha lembut sambil mengusap bahu putrinya yang bergetar.

Alesya mengangkat pandangannya. “B-bunda, Ale nggak mau dijodohkan ....”

Mizha tersenyum kecil. “Sayang, ini sudah keputusan Ayahmu, Bunda tidak bisa berbuat apa-apa.”

“Bunda, Ale bisa mencari jodoh sendiri. Lagipula, Ale masih sekolah, nggak mungkin untuk menikah.”

“Nanti, kalau Ale dikira hamil diluar nikah, gimana?” tanya Mizha.

“Kamu yakin kan dengan Bunda dan Ayah?” Alesya menggeleng, masih berusaha menolak.

“Tapi, Bun—”

“Jangan menolak, sayang, percayalah pada Bunda, pilihan Ayahmu tidak akan pernah salah, sayang.”

“Tapi, Bun—“ Mizha memotong ucapan Alesya lagi.

“Keputusan ada di tanganmu, sayang, apakah kamu memilih perjodohan dari Ayahmu atau memilih pilihanmu sendiri.”

🍉🍉🍉

Gimana? Ini masih awal kok yah hehe

Gimana? Ini masih awal kok yah hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
GADIS ATHEIS GUS ZAYYAN [END√]Where stories live. Discover now