Part 12. Perkara Qurban

922 103 1
                                    

Ternyata memang benar bahwa melihat orang lain dalam rentan waktu sebentar hanya akan menimbulkan spekulasi yang buruk, tak jarang akan ada kesalahan yang berakhir penyesalan. Aldric yang sebelumnya menganggap bahwa Keisya tidak lebih seperti perempuan rusak, lambat laun mulai paham, ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Selama seminggu ini, ia benar-benar memperhatikan bagaimana dia bertindak.

"David, mengapa Keisya yang kamu ceritakan berbeda dengan sekarang?"

Di taman belakang, Aldric duduk sembari menyesap teh hangat di genggaman, begitu juga dengan seseorang di sampingnya. Pandangannya tidak teralihkan sedikit pun dari kegiatan Keisya yang sedang sibuk membuat sesuatu di gazebo. Banyak pertanyaan yang belum terjawab meskipun dirinya sudah bersama gadis itu selama ini, sikap dan tingkahnya berbeda dengan apa yang David jelaskan.

"Bukankah anda juga tau jika nyonya Keisya mengalami amnesia setelah kecelakaan? Apa bapak lupa?"

"Berbicara sewajarnya, kita hanya berdua sekarang."

Aldric menatap ke samping, memperhatikan mimik muka David yang terlihat canggung. Laki-laki dengan kaca mata hitam itu membalas dengan senyuman tipis, kepalanya mengangguk paham. David mengenal Aldric sudah dari kecil, dua orang itu sepasang sahabat, namun meskipun demikian, entah mengapa masih ada jarak di antara keduanya.

"Saya tidak lupa, hanya saja ini terlalu aneh."

Keisya yang ada di benak seorang Aldric adalah perempuan yang tidak paham akan identitas dirinya. Setiap malam selalu pergi ke klub, obat-obatan dan alkohol adalah makanan sehari-hari, bermalam dengan Edward yang saat itu sebagai pacarnya adalah sebuah keharusan. Tetapi sekarang, lihat lah dia. Kerudung lebar sampai dada, sifat canggung yang kentara, dan bagaimana dia yang selalu menghindari kontak mata dengannya.

"Keisya butuh waktu, anda tidak perlu memikirkan itu semua."

"Apa kamu akan menjaganya?"

"Mengapa anda bertanya seperti itu?"

"Untuk berjaga-jaga."

"Jangan melakukan hal yang bodoh."

Aldric mengangkat dagunya untuk melihat David, sedetik kemudian ia terkekeh geli dengan tatapan tajam dari sahabat kecilnya itu. Tidak berubah, itu yang ia pikirkan. David selalu saja posesif seperti sekarang, itu lah kenapa ia tidak bisa terlalu terbuka, atau dia akan menghancurkan semua rencananya.

"Nyonya, kenapa anda tidak membeli saja? Di pasar seperti ini sangat banyak."

"Panggil nama saja, Bi. Keisya nggak mau terlalu formal."

Wanita paruh baya yang sedari tadi memasukkan beras ke dalam daun kelapa tertawa kecil. Di depannya sudah ada beberapa ketupat mentah yang belum dimasak, sedangkan di sampingnya Keisya dengan lihainya melipat banyak daun muda membentuk sebuah ketupat itu. Besok akan memasuki idul adha, kegiatan pertama yang ia lakukan jauh dari rumah, dan ia merindukan semuanya, setidaknya dengan membuat seperti ini akan mengurangi perasaan itu.

"Anda bilang jangan terlalu formal, tetapi anda selalu seperti itu."

Pipi Keisya memerah, ia juga berpikir demikian. Mungkin karena pekerjaannya dulu sebagai pembantu sampai membuatnya seperti sekarang. Ia memalingkan wajahnya ke samping, dan tepat di waktu yang sama ternyata Aldric juga menatap kearahnya. Lelaki itu tersenyum tipis, membuat pipinya semakin merah, ia buru-buru menunduk, takut jika nanti akan kelewatan.

"Ka-kalau buat sendiri jadi lebih hemat, Bi," ujar Keisya, menjawab pertanyaan bi Ningsih yang sudah lama itu.

"Tapi ini pasti ngerepotin non Keisya, masaknya juga lama, ini daunnya juga belum dilipat semua," kata bi Ningsih. Menghilangkan kata nyonya tetapi tetap saja ada panggilan khusus seperti nona.

Eternal Love Of Dream [End]Where stories live. Discover now